Sopir Perkosa Anak Majikan

Sopir Perkosa Anak Majikan

Sopir Perkosa Anak Majikan

Senja di Batam selalu terasa melankolis bagi Anjani. Langit berubah dari biru pucat menjadi jingga keunguan, memantulkan siluet gedung-gedung tinggi di kejauhan. Anjani duduk di kursi penumpang belakang mobilnya, matanya menatap kosong ke jalanan macet yang dipenuhi kendaraan. Seharusnya dia merasa nyaman, tetapi sejak ayahnya mempekerjakan Slamet sebagai sopir pribadi baru mereka, rumah dua lantai di kompleks elit itu terasa seperti sangkar.
Awalnya, Anjani tidak keberatan. Ayahnya berkata, Slamet adalah orang yang bisa diandalkan, meski penampilannya agak seram. Kata-kata itu berulang kali terngiang di benaknya, tetapi cara Slamet menatapnya setiap kali Anjani masuk atau keluar mobil, membuatnya merasa tidak tenang. Tatapan itu bukan tatapan sopir kepada majikannya, melainkan tatapan tajam seorang pemburu yang sedang mengamati mangsanya.

Slamet, yang duduk di depan, melirik Anjani melalui kaca spion. Wajahnya yang keras dan terbakar matahari tidak menunjukkan ekspresi, tetapi matanya yang menyipit mencerminkan senyum licik. “Mau mampir ke kafe, Nona?” suaranya berat dan serak, memecah kesunyian.
Anjani menggeleng pelan. “Tidak, Pak. Langsung pulang saja.”
Slamet tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. Aroma arak yang samar dari tubuhnya membuat Anjani mual. Dia mencoba mengalihkan perhatian dengan memandangi jalanan, tetapi pikirannya terus kembali pada satu hal: ketidaknyamanan yang mendalam.
Setibanya di rumah, Anjani buru-buru turun dari mobil. “Terima kasih, Pak Slamet,” ucapnya sopan.
Slamet mematikan mesin, lalu ikut turun. “Sama-sama, Nona.” Ia berjalan mendekat, langkahnya pelan dan berat. Anjani merasa jantungnya berdebar kencang. Ia tahu, Slamet akan mengikuti Anjani, seperti yang Slamet lakukan setiap kali.
“Nona Anjani, kenapa terburu-buru?” Slamet berdiri di depannya, tangannya bersilang di dada. “Tadi kelihatannya lelah.”
“Hanya ingin istirahat saja, Pak,” jawab Anjani, mencoba tersenyum.
Slamet tidak bergeming, matanya menelusuri setiap inci tubuh Anjani, dari ujung rambut hingga kaki. Tatapannya membuat kulit Anjani merinding. “Mungkin nona butuh pijatan.”
Anjani mundur selangkah. “Tidak, terima kasih, Pak Slamet. Saya baik-baik saja.”
Slamet melangkah maju, kini jarak di antara mereka begitu dekat sehingga Anjani bisa mencium bau rokok dan arak dari napasnya. “Saya dengar nona suka yoga. Mungkin saya bisa bantu.”
Anjani menggeleng, berusaha menjauh. “Tidak, Pak. Saya masuk dulu.”
Tanpa diduga, Slamet meraih pergelangan tangan Anjani. Genggamannya kuat, seperti cengkeraman baja. Anjani terkesiap, dan seluruh tubuhnya menegang. “Pak, lepas!” bisiknya.
“Ssttt… jangan berisik, Nona.” Slamet menariknya ke arah garasi. “Kita bicara sebentar di sini.”
Anjani berusaha memberontak, tetapi tenaga Slamet jauh lebih besar. Ia ditarik masuk ke dalam garasi yang gelap dan Slamet mengunci pintu dari dalam. Anjani panik. Matanya membelalak ketakutan, napasnya tersengal.
“Mau apa, Pak Slamet? Lepaskan saya!” Anjani berteriak, suaranya bergetar.
Slamet melepaskan genggamannya, tetapi ia kini berdiri di depan pintu, menghalangi jalan keluar. “Nona, santai saja. Tidak ada yang akan dengar. Orang tua nona sedang pergi.”
Anjani mundur, punggungnya menabrak mobilnya sendiri. “Saya akan teriak. Saya akan laporkan ke ayah saya.”
Slamet tertawa, suaranya serak dan menusuk. “Silakan saja. Tapi saat ayah nona pulang, dia akan melihat nona sudah jadi milik saya.”
Anjani menggelengkan kepala, air matanya mulai menetes. “Tidak. Tolong jangan…”
Slamet melangkah mendekat, matanya berkilat-kilat di kegelapan. “Kenapa? Saya tahu nona penasaran. Saya bisa kasih apa yang tidak bisa dikasih cowok-cowok seumuran nona. Pengalaman, Anjani.” Ia menyebut nama Anjani, dan itu membuat Anjani semakin ketakutan.
“Saya bukan barang mainan, Pak Slamet.” Anjani mencoba bersuara lebih tegas, tetapi suaranya pecah.
Slamet tidak peduli. Ia mengulurkan tangan dan menyentuh pipi Anjani. Jemari kasar dan panas itu menyapu kulit Anjani yang halus dan dingin. Anjani menutup matanya, tubuhnya gemetar.
“Cantik sekali. Pantas saja banyak yang suka,” bisik Slamet. Tangannya turun ke leher Anjani, lalu ke bahunya. Anjani tidak bisa bergerak. Seluruh tubuhnya lumpuh karena rasa takut.
“A-ayah saya akan datang,” bisik Anjani, mencoba mencari sisa-sisa keberanian.
“Dia akan bangga kalau punya cucu dari saya,” jawab Slamet sambil menyeringai. Tangannya kini menyentuh ujung crop top Anjani, lalu naik perlahan ke perutnya.
Anjani terkesiap. Sentuhan itu tidak kasar, tetapi sangat kuat, dan itu membuat perutnya bergejolak. Ia mencoba menepis tangan Slamet, tetapi Slamet memegang pergelangan tangannya lagi, lalu mengarahkan ke belakang Anjani hingga menyentuh kap mobil. Slamet menjepitnya di antara tubuhnya yang besar dan mobil.
“Jangan melawan, Nona. Nanti sakit,” bisik Slamet, suaranya kini terdengar seperti perintah.
Anjani menggeleng, air matanya mengalir deras. Ia hanya bisa pasrah ketika tangan Slamet membuka kancing celana high-waist-nya, lalu menariknya turun sedikit.
“A-aku tidak mau…” bisik Anjani.
“Diam. Nanti juga suka,” jawab Slamet.
Ia mencium leher Anjani, ciuman basah dan kasar yang membuat Anjani merinding. Anjani memejamkan matanya, membayangkan ia ada di kafe, memotret kopi. Slamet menarik kemeja Anjani ke atas, memperlihatkan perutnya yang rata. Ia mencium perut Anjani, lalu meraba pinggangnya yang kecil.
“Kecil. Seperti anak SMP,” bisik Slamet.
Anjani merasakan celana dalamya ditarik turun. Sensasi udara dingin menyentuh kulitnya. Kemudian jari-jari Slamet yang kasar dan tebal menyentuh klitorisnya. Anjani menahan napas, terkejut dengan sentuhan itu. Itu bukan sentuhan lembut. Ini seperti sentuhan seorang yang mengerti apa yang ia lakukan.
Slamet menggerakkan jarinya, mengusap klitoris Anjani dengan jari telunjuknya. Anjani terkesiap, sensasi itu aneh, tetapi ia tidak bisa menolaknya. Tangan Slamet yang lain memegang pinggulnya, meremasnya dengan kuat.
“Sudah basah,” bisik Slamet. “Lihat, saya bilang apa.”
Anjani membuka matanya, menatap Slamet yang tersenyum kemenangan. Anjani merasa jijik pada dirinya sendiri, pada tubuhnya yang merespons. Ia menggeleng. “Tidak… ini tidak benar…”
Slamet menarik Anjani ke arahnya, lalu melumat bibirnya. Ciuman itu kasar dan dalam, bukan ciuman lembut yang pernah ia bayangkan. Slamet memaksakan lidahnya masuk, menjelajahi mulut Anjani. Anjani yang awalnya menolak, kini membiarkannya.
Slamet melepaskan ciumannya. “Luar biasa,” bisiknya. Ia meraba payudara Anjani, meremasnya dengan kuat melalui bra. Anjani mendesah. Ia tidak bisa mengendalikannya.
Slamet kini berlutut di depan Anjani, menarik celana Anjani lebih ke bawah, lalu mencium pangkal paha Anjani. Anjani menutup matanya, napasnya terengah-engah. Slamet menjilat area sensitif Anjani, membuatnya melengkung. Lidahnya yang kasar dan panas itu mengusap klitorisnya, lalu menyedotnya.
Anjani mendesah keras. Sensasi itu terlalu kuat untuk ditolak. Ia mencengkeram rambut Slamet. Slamet tertawa pelan, lalu mempercepat gerakan lidahnya.
“Slamet…,” Anjani merintih, suaranya parau.
Slamet terus menjilatnya, Anjani mulai meremas rambut Slamet lebih keras. Ia mencium aroma tubuh Slamet, bau arak yang kini terasa erotis, bukan lagi menjijikkan.
Anjani orgasme untuk pertama kalinya. Tubuhnya bergetar hebat, dan ia menjerit. Slamet tersenyum, lalu berdiri. “Enak, Nona?”
Anjani hanya bisa mengangguk, napasnya terengah-engah. Matanya setengah terpejam.
Slamet menarik Anjani ke arahnya, lalu membawanya ke kasur yang terlipat di pojok garasi. “Sekarang, kita ganti posisi.”
Anjani pasrah. Ia berbaring di kasur, lalu Slamet menindihnya. Slamet membuka celana Anjani, dan Anjani membiarkannya. Slamet membuka celana dan celana dalamnya. Penisnya yang besar dan keras, kini berdiri di depan mata Anjani.
Slamet kembali menciumnya, kali ini lebih lembut, seolah ingin menunjukkan bahwa ia akan menguasai Anjani. Anjani balas menciumnya. Slamet tersenyum, lalu ia memasukkan penisnya ke vagina Anjani.
Anjani menjerit, penis Slamet terlalu besar, membuatnya terasa sakit. Slamet menghentikan dorongannya. “Sakit?”
Anjani mengangguk.
Slamet mengusap rambut Anjani. “Nanti juga enak.”
Ia mendorongnya perlahan. Gerakannya pelan dan lambat, memberikan waktu bagi Anjani untuk beradaptasi. Anjani yang awalnya menegang, kini mulai mengendurkan otot-ototnya. Ia merasakan sensasi penuh dari penetrasi Slamet.
Slamet kini mulai bergerak lebih cepat. Ia mencium leher Anjani, lalu payudaranya, sambil terus menggerakkan pinggulnya.
“Slamet,” Anjani merintih, ia mencengkeram bahu Slamet.
“Enak?” tanya Slamet.
Anjani mengangguk, ia sudah tidak bisa berbohong lagi. Ia mulai melengkungkan punggungnya, mengikuti setiap gerakan Slamet.
Slamet mencium Anjani, lalu ia memutar tubuh Anjani menjadi posisi doggy style. Anjani merasakan penetrasi Slamet dari belakang. Sensasinya berbeda, lebih dalam. Anjani mendesah lebih keras.
“Suka?” bisik Slamet.
Anjani mengangguk, ia tidak bisa berkata-kata lagi. Ia merasa terlalu baik. Sensasi penetrasi Slamet terlalu kuat. Slamet terus menggerakkan pinggulnya, Anjani terus mendesah. Tangan Slamet meremas payudaranya, membuatnya orgasme untuk kedua kalinya.
Setelah Anjani orgasme, Slamet membaringkan Anjani lagi. Ia kini berdiri di depan Anjani, menyuruh Anjani untuk menghisap penisnya. Anjani yang sudah pasrah, hanya bisa mengangguk.
Ia memegang penis Slamet, lalu memasukkannya ke dalam mulutnya. Ia mulai menghisapnya, mengikuti instruksi Slamet. Slamet tersenyum, lalu ia menarik rambut Anjani, membuat hisapan Anjani semakin dalam.
Slamet mengerang, Anjani terus menghisapnya. Anjani bisa merasakan penis Slamet semakin keras. Slamet kini menindih Anjani, lalu kembali memasukinya. Gerakannya semakin cepat.
Anjani merintih. Sensasinya begitu luar biasa. Ia orgasme untuk ketiga kalinya. Setelah Anjani orgasme, Slamet menggerakkan pinggulnya lebih cepat, dan ia mengeluarkan penisnya, lalu ejakulasi di perut Anjani.
Slamet memeluk Anjani. “Nanti kita buat anak, Anjani. Biar ayahmu tidak bisa memisahkan kita lagi,” bisiknya.
Anjani tidak menjawab, ia hanya memeluk Slamet. Tubuhnya bergetar, tetapi bukan karena rasa takut. Anjani tahu, ia kini sudah menjadi milik Slamet, dan ia tidak tahu apakah ia harus menolaknya, atau menerimanya.
Seminggu kemudian, Anjani dan Slamet semakin dekat. Slamet kini menjadi kekasih Anjani. Anjani yang awalnya menolak, kini pasrah, dan bahkan menikmati perannya. Slamet kini bukan lagi sopir, melainkan kekasihnya. Ia sering datang ke rumah, dan orang tua Anjani tidak tahu apa-apa.
Slamet, kini selalu datang setiap malam, lalu ia akan bercinta dengan Anjani. Setiap malam, mereka bercinta dengan posisi yang berbeda. Anjani yang awalnya tidak tahu apa-apa, kini menjadi aktif. Ia yang selalu meminta Slamet untuk menyentuhnya.
Slamet tersenyum, ia berhasil membuat Anjani jatuh ke dalam pelukannya. Slamet tahu, Anjani kini tidak bisa hidup tanpanya. Ia berhasil membuat Anjani, seorang gadis naif dari keluarga kaya, menjadi budak nafsunya. Slamet tahu, sebentar lagi, ia akan berhasil mendapatkan apa yang ia mau. Anjani akan hamil, dan Slamet akan menikahinya. Setelah itu, ia akan menjadi bagian dari keluarga Anjani, dan Slamet akan mengambil alih bisnis ayahnya.
Slamet tahu, ia tidak akan pernah mel
epaskan Anjani. Anjani, gadis polos itu, kini sudah menjadi miliknya.