Istri Solehah yang Tergoda

Istri Solehah yang Tergoda

Istri Solehah yang Tergoda

Bab 1: Awal Perjalanan Azizah

Di lereng bukit yang hijau, di mana angin pagi membawa aroma tanah basah setelah hujan malam, berdiri pondok pesantren Al-Hikmah. Pesantren ini bukan sekadar bangunan batu dan kayu; ia adalah sebuah dunia tersendiri, penuh dengan disiplin yang ketat dan keimanan yang mendalam. Azizah, putri seorang pegawai negeri sipil (PNS) yang berprofesi sebagai guru agama, dibesarkan di lingkungan ini. Ayahnya, Bapak Hadi, adalah sosok yang tegas namun penuh kasih, menanamkan nilai-nilai keislaman melalui pelajaran dan teladan sehari-hari.

Ibunya, Ustazah Siti, seorang pengajar di pesantren yang dikelola oleh ayahnya, Ustadz Mukhtar, memiliki peran besar dalam membentuk karakter Azizah.

Ustadz Mukhtar, sebagai pengurus utama pesantren, menjadikan tempat ini warisan keluarga yang penuh makna, sebuah benteng keimanan yang kokoh.

Pesantren Al-Hikmah bukan hanya tempat tinggal bagi Azizah, melainkan dunia yang membentuk jati dirinya. Setiap hari dimulai dengan suara azan subuh yang menggema, diikuti tilawah Al-Qur’an yang merdu dari para santri. Lantunan doa-doa pagi mengalir seperti sungai yang tak pernah kering, sementara diskusi tentang kitab kuning tafsir, fiqih, dan hadis menjadi makanan rohani sehari-hari. Dengan hijab lebar yang selalu menutup auratnya dengan sempurna, Azizah dikenal sebagai sosok yang taat, polos, dan penurut. Rambutnya yang hitam legam tak pernah terlihat oleh siapa pun di luar mahram, dan senyumnya yang hangat selalu menyertai sapaan lembutnya kepada para santriwati. Ia menjadi teladan, dengan sifat lembut dan kepatuhan yang membuatnya disegani, meski di balik itu semua, ia sering menyimpan kerinduan untuk merasakan kebebasan di luar aturan ketat yang membentuk hidupnya.

Didikan ayah dan ibunya yang kaku membuat Azizah merasa terikat, seperti burung dalam sangkar emas. Ia mematuhi setiap perintah dengan penuh kesadaran bangun sebelum fajar untuk shalat tahajud, menghafal ayat-ayat suci, dan membantu ibunya mengajar santriwati kecil di pesantren kakeknya.

Namun, di lubuk hatinya yang paling dalam, ia mendambakan ruang untuk mengeksplorasi dunia di luar pesantren. Keinginan itu terpendam rapi, tersembunyi di balik senyum hangat dan sikap sopannya. Kadang, saat malam tiba dan angin berhembus melalui jendela kamarnya, Azizah akan duduk sendirian, memandang bintang-bintang, dan bertanya-tanya bagaimana rasanya berjalan bebas di kota, melihat cahaya neon dan mendengar suara keramaian yang tak pernah ia kenal. Ia belajar Al-Qur’an dengan tekun, menghafal hadis demi hadis, dan mengikuti setiap aturan dengan penuh ketaatan, tapi ada rasa ingin tahu yang kadang menggelitik hatinya. Meski begitu, ia tak pernah berani mengungkapkannya, takut mengecewakan ayahnya yang bekerja keras sebagai guru agama atau ibunya yang berdedikasi di pesantren kakeknya.

Sir.Bean (2).jpg

Sir.Bean (3).jpg

Suatu hari yang cerah, ketika matahari baru saja terbit dan para santri mulai beraktivitas, kehidupan Azizah berubah. Bagas, seorang guru olahraga yang karismatik dari pesantren lain, datang berkunjung. Bagas adalah lulusan pesantren ternama, dikenal karena akhlaknya yang terpuji dan kemampuannya mengambil hati siapa saja dengan senyumnya yang menawan. Tubuhnya atletis, hasil dari tahun-tahun mengajar olahraga, dan matanya penuh keyakinan. Dengan keberanian yang tak biasa, ia mendekati Bapak Hadi setelah shalat Jumat, meminta izin untuk taaruf dengan Azizah. “Saya melihat Azizah sebagai sosok yang taat dan lembut, Pak,” katanya dengan suara mantap. “Saya ingin membangun rumah tangga yang diridhai Allah bersamanya.”

Azizah, yang saat itu sedang membantu ibunya mengajar kelas tajwid, tak menyangka bahwa hidupnya akan berubah secepat itu. Bagas tampil sopan di hadapan keluarga Azizah, terutama ayahnya, yang dikenal tegas sebagai guru agama. Dengan tutur kata yang lembut dan penuh hormat, Bagas bercerita tentang latar belakangnya, pengetahuan agamanya, dan visinya tentang pernikahan. “Saya lulusan pesantren, Pak. Saya tahu pentingnya menjaga akhlak dan taqwa,” ujarnya sambil menundukkan pandang. Bapak Hadi mendengarkan dengan saksama, matanya menilai setiap kata yang keluar dari mulut Bagas. Ibu Siti, yang turut hadir dalam pertemuan itu, mengangguk pelan, terkesan dengan kesederhanaan dan ketulusan Bagas.

Bapak Hadi, yang sangat menjaga nilai-nilai keislaman dalam keluarga, melihat Bagas sebagai calon menantu yang ideal. Ia tersentuh oleh kesopanan Bagas, pengetahuan agamanya yang mendalam Bagas bisa mengutip hadis dengan lancer dan latar belakangnya sebagai lulusan pesantren. “Kau tampak seperti pemuda yang baik, Bagas,” kata Bapak Hadi setelah pertemuan itu. “Aku percaya pernikahan ini akan membawa berkah.” Tanpa ragu, ia menyetujui lamaran Bagas, percaya bahwa ini adalah jalan terbaik bagi putrinya yang penurut. Ibu Siti, yang setiap hari mengajar di pesantren kakek Azizah, juga setuju, melihat Bagas sebagai sosok yang bisa membimbing Azizah dengan baik.

Bagi Azizah, keputusan ayahnya adalah titik balik. Hatinyapun dipenuhi campuran antara ketaatan pada orang tua dan keinginan untuk bebas dari rutinitas pesantren. Ia menerima lamaran Bagas dengan hati terbuka, berharap pernikahan ini akan menjadi jalan baginya untuk menemukan keseimbangan antara kewajiban agama dan keinginan hatinya yang selama ini terpendam. Proses taaruf berjalan singkat, sesuai adat pesantren. Mereka bertemu beberapa kali di bawah pengawasan keluarga, berbincang tentang mimpi dan harapan. Bagas, dengan sikapnya yang hangat, membuat Azizah merasa istimewa. “Kau akan bahagia bersamaku, Azizah,” bisik Bagas suatu sore saat mereka duduk di teras rumah, dengan Ibu Siti mengawasi dari kejauhan. Azizah tersipu, hatinya berdebar oleh janji-janji manis itu.

Pada awalnya, Bagas tampak seperti jawaban atas doa-doa Azizah. Ia penuh perhatian, hangat, dan mampu membawa keceriaan dalam kehidupan Azizah yang selama ini terasa monoton. Bagi Azizah, yang polos dan belum banyak mengenal dunia luar, Bagas adalah sosok yang membawa warna baru dalam hidupnya. Ia mulai membayangkan kehidupan pernikahan yang penuh kehangatan, di mana ia bisa tetap menjalankan ketaatannya shalat berjamaah, mengaji Bersama sambil mengeksplorasi sisi lain dari dirinya yang selama ini terpendam, seperti belajar hal-hal baru di luar pesantren. Ia membayangkan berjalan bersama Bagas di taman, atau mungkin mendengar cerita tentang dunia luar yang belum pernah ia sentuh.

Namun, di balik semua itu, Azizah tetap membawa sifat penurut dan taat yang telah tertanam sejak kecil. Ia memasuki pernikahan dengan hati yang penuh harap, namun juga dengan kepolosan yang membuatnya belum sepenuhnya siap menghadapi liku-liku kehidupan berumah tangga. Malam sebelum akad nikah, Azizah berdoa panjang di kamarnya, memohon petunjuk dari Allah. “Ya Allah, jadikan pernikahan ini jalan menuju ridha-Mu,” gumamnya, tangannya memegang tasbih yang selalu ia bawa. Bagas, dengan pesonanya yang memikat, tampak seperti pintu menuju dunia baru yang selama ini ia impikan dunia di mana ia bisa tetap taat tapi juga merasakan kebebasan. Tapi Azizah belum tahu bahwa perjalanan ini akan menguji iman, kesabaran, dan kekuatan hatinya lebih dari yang ia bayangkan. Saat fajar menyingsing, Azizah berdiri di depan cermin, memandang dirinya yang berhijab rapi, siap memulai babak baru dalam hidupnya.

Bab 2: Kebangkitan Gairah dalam Ketaatan​

Awal pernikahan Azizah dan Bagas berjalan seperti lukisan sederhana yang penuh kehangatan, berpadu dengan ritme kehidupan di lingkungan dekat pesantren Al-Hikmah yang tenang. Mereka tinggal di rumah keluarga Azizah, bersama ayahnya, Bapak Hadi, seorang PNS guru agama, dan ibunya, Ibu Siti, pengajar di pesantren yang dikelola oleh kakek Azizah, Ustadz Mukhtar. Rumah kecil itu, yang terletak hanya beberapa langkah dari pesantren, dikelilingi suara azan, tilawah santri, dan aroma kayu bakar dari dapur pesantren. Azizah menjalani hari-hari sebagai istri dengan penuh dedikasi. Ia bangun sebelum subuh untuk shalat tahajud, menyiapkan sarapan untuk Bagas, dan membantu ibunya mengajar santriwati kecil. Bagas, sebagai guru olahraga, menghabiskan waktu di lapangan, melatih santri dengan semangat, lalu pulang dengan senyum yang membuat hati Azizah berdebar. Semuanya terasa normal dan santai, seperti kehidupan pasangan muda yang baru memulai perjalanan rumah tangga dalam naungan keimanan.

Namun, di balik citra Bagas yang alim dan sopan sosok yang mampu mengutip hadis dengan fasih dan selalu tampil rapi di hadapan keluarga Azizah tersimpan sisi lain yang perlahan terungkap. Malam-malam pertama pernikahan mereka membawa Azizah pada dunia baru yang asing baginya. Bagas ternyata memiliki fantasi seksual yang liar dan hasrat yang cenderung hiperseksual. Ia bisa meminta berhubungan intim tiga hingga empat kali dalam sehari, meskipun durasinya singkat, kadang hanya lima menit, tak pernah lebih dari sepuluh menit. Azizah, yang dibesarkan dengan didikan agama yang ketat oleh ayah dan ibunya, merasa kewajiban sebagai istri adalah hukum yang tak boleh dilanggar. Ia selalu berusaha menuruti permintaan Bagas, meski hatinya sering dipenuhi kebingungan dan kegugupan.

Azizah, dengan latar belakang agamanya yang kuat, hampir tak tahu apa-apa tentang seksualitas sebelum menikah. Nasihat ibunya sebelum akad nikah menjadi pegangannya: “Memuaskan suami adalah ibadah, Azizah. Buat suamimu senang sampai ia mencapai puncaknya, itulah kepuasan seorang istri.” Kata-kata itu tertanam dalam benaknya, membuatnya melihat hubungan intim sebagai bagian dari pengabdian kepada Allah dan suami. Pada malam pertama, Azizah hanya bisa menurut, tubuhnya gemetar saat Bagas memimpin dengan penuh percaya diri. “Tenang saja, Sayang,” bisik Bagas, suaranya lembut tapi penuh gairah. “Aku akan ajari kamu.” Azizah mengangguk, wajahnya memerah di bawah lampu temaram kamar mereka, hijabnya sudah terlepas, menyisakan rambut hitamnya yang tergerai.

Bagas, dengan antusiasmenya, mulai memperkenalkan variasi yang tak pernah terbayang oleh Azizah. “Coba ini,” katanya suatu malam, mengajak Azizah mencoba posisi baru yang ia sebut “doggy style.” Azizah, yang polos, merasa seperti murid yang sedang belajar pelajaran asing. Ia menurut, meski awalnya ragu, karena ia ingin menjadi istri yang baik. Namun, sentuhan Bagas dan ritme singkat tapi intens itu membawa sensasi baru yang membuat tubuhnya bereaksi. “Ini… aneh, tapi enak,” pikir Azizah, wajahnya memanas karena malu pada dirinya sendiri. Ia belum mengerti apa itu orgasme, tapi gelombang panas yang melanda tubuhnya membuatnya penasaran.

Untuk membantu Azizah memahami, Bagas sering menunjukkan video pendek di ponselnya. “Lihat ini, Azizah. Ini cara pasangan menikmati satu sama lain,” katanya, membuka klip yang menampilkan adegan intim. Azizah awalnya menolak, merasa itu tak pantas dengan nilai-nilai agamanya. “Ini… ini nggak salah, kan, Mas?” tanyanya dengan suara gemetar. Bagas tersenyum, meyakinkan, “Ini cuma untuk kita belajar, Sayang. Supaya kita lebih harmonis.” Azizah, dengan kepolosannya, akhirnya melirik, dan rasa ingin tahunya mulai mengalahkan rasa malunya. Video-video itu membuka mata Azizah pada dunia seksualitas yang selama ini tersembunyi darinya. Ia cepat belajar, bukan karena paksaan, tapi karena antusiasme yang muncul dari dalam dirinya. Pengalaman baru ini seperti membuka pintu ke sisi dirinya yang tak pernah ia kenal sebelumnya.

Perubahan dalam diri Azizah terjadi secara bertahap. Awalnya, ia hanya pasif, membiarkan Bagas memimpin dengan durasi singkatnya. Namun, seiring waktu, ia mulai merespons dengan lebih aktif. Tubuhnya yang sensitif membuatnya mudah terangsang; sentuhan kecil dari Bagas, bahkan hanya pandangan matanya yang penuh hasrat, bisa membuat jantung Azizah berdegup kencang. Suatu siang, saat Bagas pulang lebih awal dari lapangan olahraga, ia mendekati Azizah yang sedang menjemur pakaian di halaman belakang. “Sebentar saja, Sayang,” bisiknya, tangannya melingkar di pinggang Azizah. Meski awalnya Azizah ragu karena masih siang dan ibunya ada di dalam rumah, ia menurut. Kali ini, ia tak hanya diam; ia mulai menggerakkan tubuhnya mengikuti irama, mencari kenikmatan yang mulai ia rasakan sendiri. “Kamu mulai suka, ya?” tanya Bagas dengan senyum puas. Azizah hanya tersipu, tapi dalam hati, ia tahu ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.

Nasihat ibunya masih bergema: kepuasan suami adalah kepuasan istri. Azizah awalnya menganggap kepuasan itu datang dari melihat Bagas mencapai klimaks, tanda bahwa ia telah menjalankan tugasnya. Namun, setiap posisi baru yang diajarkan Bagas missionary, woman on top, atau bahkan variasi sederhana seperti spooning membawa sensasi yang membuat Azizah bagai murid yang haus akan pelajaran baru. Suatu malam, setelah shalat Maghrib, Bagas mengajaknya mencoba posisi woman on top. “Kamu yang atur sekarang,” katanya sambil tersenyum. Azizah, dengan wajah memerah, naik ke atas, gerakannya pelan dan penuh keraguan pada awalnya. Tapi saat ia menemukan ritme, desahannya mulai terdengar, lembut tapi semakin kuat. Bagas memandangnya dengan kagum, tangannya memandu pinggul Azizah. “Begitu, Sayang. Nikmati saja.” Azizah merasa seperti melayang; kenikmatan itu bukan lagi hanya untuk suaminya, tapi juga untuk dirinya sendiri.

Namun, desahan Azizah yang kuat mulai menimbulkan masalah. Karena mereka masih tinggal serumah dengan orang tua Azizah, suara mereka kadang terdengar hingga ke ruang tengah. Suatu pagi, setelah sebuah sesi yang intens, Ibu Siti memanggil Azizah ke dapur dengan wajah serius. “Azizah, Nak,” katanya dengan nada lembut tapi tegas, “kami mendengar suaramu tadi malam. Kalian harus lebih hati-hati. Rumah ini dekat pesantren, dan suara bisa terdengar oleh tetangga atau santri.” Azizah memerah, rasa malu menyelimuti dirinya. “Maaf, Bu,” gumamnya, menundukkan kepala. Ibu Siti menghela napas, lalu tersenyum tipis. “Kalian pasangan muda, wajar antusias. Tapi, kalau kalian ingin bebas berekspresi, lebih baik ngontrak rumah sendiri di dekat sini. Biar kalian lebih leluasa, dan ibu tak perlu khawatir ada yang mendengar.” Azizah mengangguk, hatinya campur aduk antara malu dan lega atas pengertian ibunya.

Meski mendapat teguran, Azizah tetap memegang prinsip agamanya dengan teguh. Saat Bagas meminta oral sex, ia selalu menolak keras. “Aku jijik, Mas,” katanya, suaranya gemetar karena malu dan ketidaknyamanan. Bagas mencoba membujuk, menunjukkan video di mana wanita melakukannya dengan antusias. “Ini biasa, Azizah. Banyak pasangan melakukannya,” katanya. Tapi Azizah menggeleng, perutnya mual hanya membayangkannya. Latar belakang agamanya yang kuat membuatnya melihat itu sebagai sesuatu yang tak sesuai dengan nilai-nilainya. “Aku tak bisa, Mas. Maaf,” ucapnya, matanya menunduk. Bagas menghela napas, tapi tak memaksa lebih lanjut.

Begitu pula dengan anal sex. Saat Bagas mengusulkannya suatu malam, Azizah langsung menolak tegas. “Itu haram, Mas!” katanya, matanya membelalak penuh ketegasan. “Aku tak mau melanggar ajaran agama kita.” Bagas tertawa kecil, mencoba meredakan ketegangan, “Hanya usul, Sayang. Kalau kamu nggak mau, ya sudah.” Azizah tak bergeming; prinsip agamanya adalah benteng yang tak bisa ditembus, meski Bagas kadang terlihat kecewa.

Perubahan Azizah terus berlanjut, membangkitkan sisi yang ia sendiri tak tahu ada dalam dirinya. Sisi binal, seperti yang Bagas panggil dengan bercanda, mulai muncul. Suatu pagi, saat Bagas masih terlelap setelah shalat Subuh, Azizah yang biasanya pasif justru mendekatinya. “Mas, ayo,” bisiknya malu-malu, tangannya menyentuh lengan Bagas. Bagas terbangun, terkejut tapi senang. Mereka melakukannya dengan cepat, seperti biasa, tapi kali ini Azizah lebih vokal. Desahannya menggema di kamar, membuat Bagas semakin bergairah. “Kamu makin liar, Azizah,” katanya sambil tertawa, keringat menetes di dahinya.

Azizah tak menyadari betapa mudahnya ia terangsang. Pandangan mata Bagas, sentuhan tangannya, atau suaranya yang dalam bisa membangkitkan api dalam dirinya. Ia mulai menikmati setiap momen, melihat itu sebagai bagian dari pernikahan yang diberkahi. “Ini ibadah,” gumamnya dalam hati, mengulang nasihat ibunya. Tapi kini, kepuasan suami bukan satu-satunya; kenikmatan dirinya sendiri mulai menjadi bagian yang tak terpisahkan.

Teguran ibunya dan saran untuk ngontrak membuat Bagas berpikir lebih jauh. “Kalau cuma ngontrak di sini, suaramu masih riskan kedengeran, Azizah,” katanya suatu malam. “Mending kita pindah ke kota. Lebih bebas, dan ayahmu bilang ada kesempatan buatmu ngajar di sekolah internasional.” Azizah terkejut, tapi hatinya bergetar oleh ide itu. Ayahnya, dengan jaringan luas sebagai guru agama, merekomendasikan Azizah untuk mengajar bahasa Arab dan Inggris di sebuah SMA internasional di kota. “Kamu pintar, Nak. Ini kesempatan bagus,” kata Bapak Hadi saat menelepon. Azizah, dengan latar belakangnya yang taat, melihat itu sebagai jalan baru. Ia bisa mengajar sambil menjaga penampilan muslimahnya, meski lingkungannya lebih modern.

Keputusan pindah itu datang karena Azizah tipe yang mudah terangsang dan desahannya kuat, yang mendapat teguran dari ibunya. Atas saran Ibu Siti untuk ngontrak agar bebas berekspresi, Bagas memilih langkah lebih besar: pindah ke kota. Di sana, mereka bisa menikmati keintiman tanpa khawatir, dan Azizah bisa memulai babak baru sebagai guru di SMA internasional, membawa keahliannya dalam bahasa Arab dan Inggris ke dunia yang jauh berbeda dari pesantren.

Langkah Pertama di Sekolah Internasional

Pagi itu, langit Jakarta tampak agak muram, awan menggumpal seakan menahan cahaya matahari. Di dalam mobil sederhana yang mengantarnya, Azizah duduk diam, menatap keluar jendela dengan hati yang berdebar. Hari ini adalah hari pertamanya mengajar di sekolah internasional sebuah lingkungan yang sama sekali berbeda dengan pesantren milik kakeknya, tempat ia mengabdi selama bertahun-tahun.

Sejak lulus kuliah, kehidupannya tak pernah jauh dari dunia pesantren. Azizah terbiasa dengan disiplin ketat, lingkungan religius, santri-santri yang memanggilnya penuh hormat, dan pola pikir yang relatif seragam. Tapi kini, ia memasuki ruang baru, dunia yang katanya lebih terbuka, multikultural, sekaligus penuh tantangan.

Ia sempat ragu menerima tawaran mengajar bahasa Inggris di sekolah internasional ini. Tapi di sisi lain, ia sadar kapasitasnya harus diuji. Kakeknya sendiri yang mendorong, dengan pesan yang tak pernah ia lupakan:

“Zizah, ilmu itu amanah. Jangan kau batasi hanya untuk yang sepemahaman denganmu. Berbagilah dengan siapa saja, karena cahaya Allah bisa masuk lewat celah yang kita tak duga.”

Pesan itu yang membuatnya mantap. Namun tetap saja, langkah pertamanya terasa berat.

Begitu tiba di sekolah, ia sempat terpesona. Gedungnya megah, arsitektur modern dengan kaca tinggi yang memantulkan cahaya, jauh berbeda dari bangunan kayu sederhana pesantren. Di halaman, murid-murid dari berbagai latar belakang tampak bercengkerama. Ada yang berambut pirang, ada yang berhijab, ada pula yang berkulit gelap. Bahasa yang terdengar campur aduk Indonesia, Inggris, bahkan Mandarin.

Azizah menegakkan jilbabnya, memastikan tak ada yang melorot. Langkahnya pelan tapi tegas. Hatinya berkata, aku datang bukan sekadar mengajar bahasa, tapi juga membawa jati diriku sebagai muslimah.

Kelas pertama berlangsung cukup lancar. Murid-murid menyambutnya dengan rasa ingin tahu. Sebagian terkejut mendapati guru bahasa Inggris mereka adalah seorang ustadzah berhijab syar’i, dengan pakaian longgar dan suara yang tenang. Azizah menjawab setiap pertanyaan dengan senyum, berusaha menunjukkan wibawa sekaligus kelembutan.

Namun di antara murid-murid itu, ada satu sosok yang membuatnya sedikit gelisah: Sheven.

Remaja laki-laki berusia tujuh belas tahun itu tampak mencolok. Rambutnya cokelat kemerahan, gaya duduknya santai bahkan cenderung cuek, dan sorot matanya tajam seperti tak peduli dengan apa yang ada di sekitarnya. Ia dikenal sebagai “idola kelas” karena ketampanan dan kepercayaan dirinya, sekaligus karena berasal dari keluarga terpandang.

Sejak awal pelajaran, Sheven beberapa kali terlihat tidak fokus. Ia menaruh buku sembarangan, memainkan pulpen, bahkan sempat bersandar sambil menatap ke luar jendela. Azizah menegurnya dengan halus, namun ia hanya tersenyum tipis seolah meremehkan.

Di pesantren, santri yang tak sopan akan segera diberi sanksi. Tapi di sini, Azizah tahu ia harus lebih bijak. Mungkin ini cara mereka menguji guru baru, pikirnya.

Hari-hari berikutnya, interaksi dengan Sheven semakin menantang. Ia cerdas, tapi arogan. Jawabannya sering tajam, bahkan terkadang terasa seperti sindiran.

Suatu ketika, saat Azizah menanyakan arti sebuah idiom bahasa Inggris, Sheven menjawab dengan nada menggoda:

“Miss, kalau saya jawab salah, nanti saya dapat hukuman hafalan ayat juga?”

Beberapa teman sekelasnya tertawa. Azizah terdiam sesaat, lalu menjawab lembut, “Tidak, Sheven. Tapi kamu akan kehilangan kesempatan belajar yang berharga.”

Ia mencoba menahan diri, meskipun dalam hati ada rasa tersinggung. Baginya, menyamakan kelas bahasa dengan pesantren seakan meremehkan identitasnya.

Namun puncak kesabarannya diuji pada suatu siang. Saat sedang menjelaskan materi tentang public speaking, Azizah melihat Sheven kembali bersandar dengan gaya seenaknya. Lebih parah lagi, ia tampak sibuk menggambar sesuatu di buku catatan, bukannya memperhatikan.

Azizah menegurnya:

“Sheven, please focus. This is important.”

Anak itu menoleh dengan tatapan malas. “I am focusing, Miss. Just not on your way.”

Kelas mendadak hening. Semua murid menunggu reaksi Azizah. Dan tanpa ia sadari, emosinya meledak.

“Enough, Sheven! If you think you’re too smart for this class, you can leave right now!” suaranya meninggi, jauh dari kelembutan yang biasa ia pertahankan.

Sheven terdiam, kaget. Murid lain menunduk. Suasana menegang. Azizah merasakan dadanya panas, wajahnya memerah. Hanya beberapa detik, tapi rasanya seperti ledakan yang tak bisa ia kendalikan.

Setelah kelas bubar, Azizah duduk sendiri di meja guru. Tangannya bergetar, pikirannya penuh penyesalan. Astaghfirullah… apa yang baru saja aku lakukan?

Ia merasa gagal menjaga adab sebagai seorang pendidik. Di pesantren, ia selalu menasihati santri agar sabar, agar menahan amarah. Tapi hari ini, ia sendiri jatuh pada kesalahan yang sama.

Yang lebih mengganggu hatinya: Sheven adalah seorang murid Kristen. Azizah sadar betul, sebagai muslimah, ia punya kewajiban memberi teladan, menunjukkan akhlak yang indah tanpa memandang agama atau status. Justru karena berbeda keyakinan, seharusnya ia lebih berhati-hati, agar dakwah lewat akhlak bisa sampai.

Namun yang ia tunjukkan justru kemarahan.

“Ya Allah… aku malu,” bisiknya pelan. Air mata menetes tanpa ia sadari.

Sepanjang pelajaran, bayangan wajah Sheven tak lepas dari pikirannya. Anak itu memang arogan, tapi ia tetaplah seorang murid. Tugas guru bukan hanya mengajar, tapi juga membimbing. Bagaimana mungkin ia bisa membimbing kalau lebih dulu terpancing emosi?

Azizah beristighfar berulang kali. Dalam hatinya, ia berniat menemui Steven dan meminta maaf. Bukan sekadar untuk menenangkan suasana, tapi untuk menegakkan prinsip yang ia yakini bahwa seorang muslimah sejati tak malu mengakui kesalahan, sekalipun di hadapan murid yang lebih muda dan berbeda keyakinan.

Nb : Maaf Hanya sekedar Fantasi Bukan ada niat SARA

Bab 3: Retakan dalam Hati yang Taat

Lima tahun telah berlalu sejak Azizah dan Bagas menikah, dan kehidupan mereka di kota kini telah menemukan ritme baru. Azizah, yang kini mengajar bahasa Arab dan Inggris di sebuah SMA internasional, telah menemukan keseimbangan antara ketaatannya sebagai muslimah dan dunia modern yang ia jelajahi.

Di depan murid-muridnya, ia tetap tampil sopan dengan hijab lebar yang menutup auratnya sempurna, suaranya lembut namun tegas saat menjelaskan tata bahasa atau kosa kata. Murid-muridnya mengagumi kecerdasannya, dan koleganya menghormati sikapnya yang ramah namun berprinsip. Namun, di balik penampilan polos dan sikap santunnya, Azizah telah berubah saat di ranjang. Sisi binal yang dulu tersembunyi kini bangkit, membuatnya tak lagi malu-malu meminta keintiman dengan Bagas.

Ia sering memulai dengan bisikan genit, “Mas, ayo,” sambil tersenyum malu, dan Bagas, dengan hasratnya yang tinggi, selalu menyambut dengan antusias sebab memang begitulah yang di ingnkan bagas. Meski durasi hubungan mereka tetap singkat, Azizah kini larut dalam kenikmatan, tubuhnya yang sensitif merespons setiap sentuhan dengan desahan yang semakin kuat.

Namun, di tengah kehidupan yang tampak normal, luka besar mengintai. Dalam lima tahun pernikahan, Azizah telah dua kali keguguran. Rasa sakit kehilangan itu menggores hatinya dalam-dalam, meninggalkan keraguan yang tak pernah ia ucapkan. Setiap kali ia memandang cermin, ia bertanya-tanya apa yang salah dengan tubuhnya. Bagas, yang awalnya penuh kasih, mulai menunjukkan tanda-tanda kekecewaan. Ia tetap hangat di depan Azizah, tapi tatapannya kadang kosong, seolah menyimpan beban yang tak ia ungkapkan. Azizah, dengan kepolosan yang masih tersisa, berusaha menyenangkan suaminya, berharap cinta mereka bisa mengatasi luka itu. Ia berdoa setiap malam, memohon kepada Allah agar diberi keturunan, namun rahimnya tetap kosong.

Kehidupan mereka berubah drastis ketika Azizah mendengar bisik-bisik tentang kedekatan Bagas dengan Humaira, seorang guru muda di tempat Bagas mengajar olahraga. Humaira, dengan wajah cerah dan tubuh yang ranum, adalah sosok yang penuh semangat, kontras dengan Azizah yang selalu tertutup dan sopan.

Awalnya, Azizah mencoba mengabaikan gosip itu, menganggapnya sebagai fitnah biasa. Namun, ketika ia melihat Bagas dan Humaira berbincang terlalu akrab di halaman sekolah, tawa mereka terdengar terlalu lepas, hatinya terasa seperti ditusuk. Rasa marah dan cemburu yang tak pernah ia kenal sebelumnya membakar dadanya. Malam itu, ia menatap Bagas dengan mata berkaca-kaca. “Mas, apa benar kau dekat dengan Humaira?” tanyanya, suaranya gemetar. Bagas mengelak, “Jangan dengar gosip, zizah. Itu cuma urusan kerja.” Tapi nada suaranya tak meyakinkan, dan Azizah merasa kepercayaannya mulai retak.

Dalam kemarahan dan kekecewaan, Azizah memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya, yang masih tinggal dekat pesantren Al-Hikmah. Ia tak bisa menahan air matanya saat menceritakan semuanya kepada ibunya, Ibu Siti. “Aku sudah berusaha jadi istri yang baik, Bu,” isaknya. “Tapi kenapa Mas Bagas begitu?” Ibu Siti, dengan wajah penuh kasih tapi tegas, mendengarkan dengan sabar. Setelah beberapa saat, ia berkata, “Jika Bagas benar selingkuh, ada dua jalan, Nak. Kau ceraikan dia, atau kau terima dia menikahi wanita lain agar tak jadi zina. Tapi kau harus kuat, apa pun pilihannya.” Azizah menangis lebih keras, hatinya hancur membayangkan kehilangan Bagas atau harus berbagi cinta dengannya.

Bagas menyusul Azizah ke rumah orang tuanya beberapa hari kemudian, wajahnya penuh penyesalan. Di hadapan Bapak Hadi dan Ibu Siti, ia mengakui kedekatannya dengan Humaira, meski bersikeras itu belum melampaui batas. “Saya ingin punya anak, Pak, Bu,” katanya, suaranya pelan tapi penuh beban. “Azizah… sepertinya bermasalah dengan kandungannya. Dua kali keguguran, dan sampai sekarang belum hamil lagi.” Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hati Azizah, yang mendengarkan dari sudut ruangan. Ia ingin membela diri, tapi lidahnya kelu. Bapak Hadi, yang dikenal tegas sebagai PNS guru agama, memandang Azizah dengan tatapan penuh kekecewaan. “Kau gagal menjaga dan memuaskan suamimu, Azizah,” katanya dingin. “Karena itu, pintu godaan terbuka untuknya. Sebagai istri, kau harus introspeksi.” Azizah membisu, air matanya mengalir deras. Ia merasa disalahkan atas sesuatu yang tak bisa ia kendalikan, dan luka itu terasa lebih dalam karena datang dari ayahnya sendiri.

Dengan hati yang hancur, Azizah akhirnya membuat keputusan yang berat. “Jika Mas Bagas ingin menikahi Humaira, aku izinkan,” katanya lirih kepada ibunya, suaranya hampir tak terdengar. “Lebih baik begitu daripada jadi gosip atau zina.” Ia berharap keputusan ini akan menutup pintu dosa, meski hatinya terasa terkoyak. Bagas, dengan wajah penuh rasa bersalah namun juga lega, menerima keputusan itu. Pernikahan kedua Bagas dengan Humaira berlangsung sederhana, dan Azizah kembali ke rumah mereka di kota, berusaha menjalani hidup sebagai istri pertama dengan hati yang penuh retakan.

Namun, kenyataan jauh lebih pahit dari yang Azizah bayangkan. Setelah setahun pernikahan kedua Bagas, sikapnya berubah drastis. Ia semakin jarang menyentuh Azizah, kecuali untuk pelukan atau ciuman formal yang terasa dingin. Malam-malamnya lebih banyak dihabiskan di rumah Humaira, yang tinggal tak jauh dari rumah mereka. Yang lebih menyakitkan, Bagas mulai menghina Azizah secara terbuka, terutama tentang keengganannya untuk memenuhi fantasinya. “Humaira selalu menghisap milikku setiap pagi,” katanya suatu malam dengan nada sinis, saat mereka duduk di ruang tamu. “Bahkan saat dia sedang halangan, anusnya selalu siap memuaskan aku. Beda sama kamu, yang cuma tahu ngangkang dan menolak mulu.” Kata-kata itu seperti belati yang merobek hati Azizah. Ia membisu, dadanya sesak, tapi tak bisa membantah. Prinsip agamanya tetap teguh: oral sex membuatnya mual, dan anal sex baginya adalah dosa besar. Ia tak bisa melanggar nilai-nilai yang telah tertanam sejak kecil, meski itu membuatnya kehilangan perhatian suaminya.

Azizah merasa semakin terpinggirkan. Bagas hampir tak pernah menyentuhnya lagi, kecuali sesekali meremas pantatnya yang besar dengan iseng, yang justru membuat tubuh Azizah bergidik karena sensitivitasnya yang tinggi. Remasan itu, meski hanya main-main, membangkitkan gairah yang tak tersalurkan, membuat Azizah merasa tersiksa. Ia masih mudah terangsang, seperti dulu, tapi kini hanya bisa menahan hasratnya dalam diam. Malam demi malam, ia berbaring sendirian, memandang plafon kamar, berdoa agar Allah memberinya kekuatan. “Ya Allah, apa salahku?” gumamnya, air mata mengalir di pipinya. Ia merasa seperti bayangan di rumahnya sendiri, seorang istri yang hanya ada untuk formalitas.

Di sekolah, Azizah tetap menjalankan tugasnya dengan baik. Ia mengajar dengan penuh semangat, suaranya yang lembut memikat murid-muridnya saat menjelaskan tata bahasa Arab atau kosa kata Inggris. Namun, di balik senyumnya yang hangat, ia menyembunyikan luka. Para murid tak tahu bahwa gurunya yang berhijab rapi itu sedang bergulat dengan patah hati. Kadang, saat menulis di papan tulis, tangannya bergetar, dan ia harus menarik napas dalam untuk menenangkan diri. Ia berusaha menjaga penampilan muslimahnya, tapi di dalam, ia merasa kehilangan dirinya sendiri.

Sementara itu, di rumah orang tua Azizah, Ibu Siti sering menanyakan kabarnya. “Kau harus sabar, Nak,” katanya saat Azizah berkunjung suatu hari. “Ini ujian dari Allah. Tetap jaga imanmu.” Tapi kata-kata itu tak cukup menghibur Azizah. Ia merasa terjebak dalam pernikahan yang semakin dingin, dengan suami yang lebih memilih Humaira dan keluarga yang menyalahkannya atas keguguran dan kegagalan menjaga suami. Rasa bersalah dan marah bercampur dalam hatinya, membuatnya sulit tidur.

Bagas, di sisi lain, tampak semakin jauh. Ia tak lagi berusaha menyembunyikan preferensinya terhadap Humaira. “Dia tahu caranya memuaskan aku,” katanya suatu kali, saat Azizah mencoba berbicara tentang hubungan mereka. “Kamu terlalu kaku, Azizah. Mentang-mentang punyamu tebal, kamu pikir itu cukup?” Azizah menahan tangis, hatinya hancur mendengar suaminya merendahkannya. Ia ingin berteriak, ingin mengatakan bahwa ia juga punya hasrat, bahwa remasan iseng Bagas saja bisa membuatnya bergairah, tapi prinsipnya tak memungkinkan untuk menuruti semua keinginan suaminya.

Di tengah patah hati, Azizah menemukan pelarian dalam pekerjaannya. Mengajar di SMA internasional memberinya ruang untuk bernapas, untuk merasa berguna. Murid-muridnya, yang awalnya skeptis dengan hijab lebarnya, kini mengagumi caranya menyampaikan pelajaran dengan penuh semangat.

Tapi di malam hari, saat kembali ke rumah yang sepi, ia merasa seperti orang asing. Gairahnya yang dulu membara kini terpendam, hanya terbangkitkan oleh sentuhan iseng Bagas yang tak pernah berlanjut. Azizah berdoa lebih panjang, memohon kekuatan untuk menghadapi ujian ini, tapi di hatinya, ia mulai bertanya: apakah ia bisa terus bertahan dalam pernikahan yang hanya menyisakan luka?

Bab 4: Badai Gairah yang Tak Tertahankan

Sudah setahun lebih sejak Bagas menikahi Humaira sebagai istri kedua, dan selama itu, aku, Azizah, hanya disentuh tiga kali oleh suamiku. Setiap sentuhan itu terasa seperti belas kasihan, bukan hasrat sejati, meninggalkan luka yang semakin dalam di hatiku dan nafsu yang membara di tubuhku. Kulitku yang kuning langsat, yang dulu begitu sensitif terhadap pelukan Bagas, kini hanya bisa bergantung pada kenangan. Payudara 36C-ku yang penuh, pinggulku yang lebar dan montok, serta paha yang halus semuanya seperti menjerit minta perhatian, tapi hanya angin malam yang dingin di kamar kami yang menjawab. Setiap malam, aku berbaring sendirian di ranjang besar yang kini terasa kosong, memandang plafon kayu sambil mencoba menenangkan gejolak dalam diriku. Doa-doa panjang setelah shalat tahajud jadi pelarianku, tapi bahkan itu mulai terasa hampa. Aku, yang dibesarkan dengan nilai-nilai agama ketat oleh ayah dan ibuku, serta di pesantren kakekku, Ustadz Mukhtar, merasa seperti sedang diuji oleh Allah. Tapi ujian ini terasa terlalu berat, karena nafsuku, yang dulu terbangun oleh gairah Bagas yang liar, kini seperti api yang tak pernah padam, menyala semakin besar setiap hari.

Bagas, dengan fantasi seksualnya yang kian liar, mulai sering mengajakku mencoba hal-hal yang membuatku gelisah. Dari sekadar bercinta di tempat-tempat tak biasa hingga usulannya untuk threesome, yang langsung kutolak mentah-mentah. “Azizah, kenapa kamu selalu kaku? Humaira nggak pernah nolak apa pun yang aku mau,” katanya suatu malam di ruang tamu, suaranya penuh ejekan, matanya yang dulu hangat kini dingin dan merendahkan. “Humaira selalu menghisap zakarku setiap pagi, bahkan saat dia haid, anusnya selalu siap buatku. Beda sama kamu, yang cuma tahu ngangkang dan menolak mulu.” Kata-kata itu seperti belati yang merobek dadaku, membuat air mataku menggenang, tapi aku menahannya, tanganku mengepal kain hijabku yang lebar. Aku tetap teguh pada prinsip agamaku, menolak oral dan anal sex yang bagiku bertentangan dengan nilai-nilai yang kuyakini. Tapi, meski aku berusaha kuat, tubuhku berkhianat. Saat Bagas iseng meremas pantatku yang bulat dan kenyal, aku bergidik, memekku basah dalam sekejap, dan jantungku berdegup kencang. Remasan itu, meski cuma main-main, seperti pengingat akan keintiman yang hilang, membuatku tersiksa antara iman dan hasrat.

Aku merasa seperti bayangan, istri yang hanya ada untuk formalitas mengurus rumah, memasak, dan tampil sempurna di depan keluarga. Hatiku hancur setiap kali Bagas pergi ke rumah Humaira, aroma parfumnya yang manis menempel di bajunya saat pulang. Tapi aku berusaha tegar, menyibukkan diri dengan pekerjaanku sebagai guru bahasa Arab dan Inggris di SMA internasional. Di sekolah, aku menjaga wibawa sebagai muslimah yang sopan dan berprestasi. Hijabku yang lebar selalu rapi, menutupi rambut hitam panjangku yang mengilat, hanya menyisakan wajah ovalku dengan mata hitam ekspresif dan bibir penuh yang selalu tersenyum hangat. Lingkungan sekolah yang kosmopolit, dengan murid-murid dari keturunan Eropa, Timur Tengah, dan Asia, serta beragam agama, membuatku seperti menavigasi dunia baru setiap hari. Aku tahu aku cantik kulitku kuning langsat berkilau, tubuhku ramping tapi penuh lekuk dengan payudara yang menonjol dan pinggul yang lebar dan itu sering mengundang godaan.

Awalnya, aku menanggapi godaan dengan sopan tapi tegas. Seperti saat Pak Adrian, guru ekspatriat dari Australia, memujiku di ruang guru. “Ustadzah Azizah, Anda terlihat segar hari ini. Hijab itu bikin Anda makin anggun,” katanya dengan senyum genit, tangannya tak sengaja menyentuh lenganku saat mengambil kopi dari meja. Sentuhan itu, meski ringan, seperti listrik yang menyambar, bikin memekku berdenyut pelan. Aku tersenyum tipis, “Terima kasih, Pak. Tapi mari kita fokus pada rapat hari ini,” jawabku, berusaha mengabaikan getaran kecil di hatiku. Tapi seiring waktu, dengan Bagas yang semakin jarang menyentuhku hanya tiga kali dalam setahun lebih tubuhku jadi terlalu sensitif. Setiap sentuhan tak sengaja membuatku bereaksi berlebihan, seperti bara yang tersulut angin.

Suatu hari di kelas, Ahmad, murid keturunan Arab berusia 17 tahun dengan mata cokelat dalam dan kulit sawo matang, tak sengaja menempelkan tangannya di punggungku saat membantuku memungut buku yang jatuh. “Maaf, Miss,” katanya dengan senyum polos, tapi sentuhan itu bikin aku membelalak sesaat. Panas menyebar dari punggungku ke seluruh tubuh, memekku basah dalam sekejap, cairannya lengket di celana dalamku. Aku harus menarik napas dalam untuk menenangkan diri. “Tidak apa-apa, Ahmad. Silakan duduk kembali,” kataku, suaraku sedikit bergetar, tapi aku buru-buru melanjutkan pelajaran, menulis di papan tulis dengan tangan yang gemetar. Dalam hati, aku malu pada diriku sendiri. Kenapa tubuhku begitu mudah terangsang oleh sentuhan anak remaja?

Godaan tak berhenti di situ. Di ruang guru, Pak Budi, guru matematika yang sudah menikah tapi suka bercanda, sering melempar rayuan receh. “Azizah, kalau aku single, pasti aku kejar kamu. Cantiknya nggak ketulungan,” katanya suatu siang saat kami istirahat makan siang, tangannya tak sengaja menyenggol bahuku saat mengambil garpu. Sentuhan itu seperti sengatan, bikin payudaraku tegang, putingku mengeras di balik bra dan hijabku, dan memekku berdenyut lagi. Aku tersenyum paksa, “Pak Budi, jangan bercanda. Saya sudah menikah,” jawabku, tapi dalam hati, aku merasa bersalah karena pikiranku melayang ke fantasi terlarang bayangan tangan Pak Budi meremas payudaraku, jari-jarinya menyusup ke memekku. Kekosongan dari Bagas membuatku rapuh; setiap pujian atau sentuhan tak sengaja seperti bensin yang menyulut api dalam diriku.

Di kelas, murid-murid pria juga tak berhenti memuji. Alex, murid keturunan Eropa dengan rambut pirang dan mata biru, pernah berkata, “Miss, you look beautiful today. Your eyes are like stars,” dengan aksen Inggrisnya yang menawan. Jantungku berdegup kencang, memekku basah lagi, dan aku harus buru-buru mengalihkan, “Thank you, Alex, but let’s focus on the lesson,” kataku, tapi getaran itu tetap ada, membuatku sulit berkonsentrasi. Aku tahu ini salah, tapi tubuhku seperti punya kehendak sendiri, merespons setiap tatapan atau sentuhan dengan nafsu yang tak bisa kukendalikan.

Emosiku mulai tak stabil. Di sekolah, aku sering merasa lelah, meski tetap berusaha menjaga wibawa. Kadang, saat menulis di papan tulis, tanganku bergetar, dan aku harus menarik napas dalam untuk menenangkan diri. Murid-murid tak menyadari pergolakan batinku, hanya melihat guru berhijab rapi dengan senyum hangat. Tapi di dalam, aku seperti kapal yang terombang-ambing di lautan badai. Rasa marah dan sedih bercampur setiap kali Bagas pulang dengan aroma parfum Humaira yang manis menempel di bajunya. “Kenapa kau tak pernah di sini lagi, Mas?” tanyaku suatu sore, suaraku penuh getir. Bagas hanya menghela napas, “Kamu tahu alasannya, Azizah. Humaira lebih… fleksibel.” Kata-kata itu seperti tamparan, membuatku menahan tangis, tapi juga membangkitkan hasrat terpendam yang kian sulit kutahan.

Setiap malam, aku berdoa panjang setelah shalat tahajud, memohon kekuatan untuk menahan nafsu yang semakin membesar. Tapi suara desahan Humaira dari rumah sebelah, yang sering terdengar samar hingga ke kamarku, seperti pisau yang menusuk hatiku sekaligus membakar tubuhku. Aku mencoba menutup telinga, tapi suara itu seolah meresap, bikin memekku basah, cairannya membanjiri celana dalamku, dan tubuhku gemetar. “Ya Allah, lindungi hamba dari godaan ini,” doaku, tapi semakin hari, doa itu terasa semakin lemah. Di tengah pergolakan batin ini, aku teringat sebuah pesan dari teman dekatku, Nia, yang pernah bilang kalau aku butuh pelarian, sesuatu untuk mengalihkan pikiran. Dia pernah menyebut sebuah situs, DSASAXI88, yang katanya bisa membantu “melepas penat” dengan cara yang aman dan halal, meski aku ragu apa maksudnya. Mungkin, pikirku, aku harus mencari tahu apa itu DSASAXI88, barangkali ada jalan keluar dari badai gairah yang tak tertahankan ini.