WARNING:
Cerita ini adalah fiksi. Tokoh, nama, dan kejadian hanyalah rekaan. Kemiripan dengan dunia nyata bersifat kebetulan. Untuk pembaca usia 21 tahun ke atas. Beberapa gambar dalam cerita ini dihasilkan secara acak oleh AI dan tidak mewakili individu nyata.
Bagian 1
Langit Jakarta sore itu berwarna kelabu, sama kelabunya dengan nasib Bejo. Asap knalpot yang menyesakkan dan klakson yang saling bersahutan menjadi musik pengiring perjalanannya menembus belantara beton. Tubuhnya yang kurus dan dekil terbungkus seragam kurir yang warnanya telah memudar. Kulitnya yang legam terpanggang matahari, dengan pori-pori besar yang seolah menyimpan debu jalanan. Wajahnya yang jauh dari kata tampan memiliki tatapan mata yang aneh, tatapan seekor anjing lapar yang mengintai mangsa. Pekerjaannya sebagai kurir bukanlah sebuah kebetulan. Itu adalah pilihan yang cerdas. Sebuah jubah yang sempurna untuk menyembunyikan niatnya, memberinya akses langsung ke gerbang-gerbang rumah mewah, ke dalam sangkar-sangkar emas di mana para mangsanya yang tak curiga menunggunya. Di balik penampilannya yang tak meyakinkan, Bejo menyimpan sebuah rahasia gelap. Namanya Gendam Birahi, satu-satunya hal berharga yang ia miliki di dunia ini. Orang lain punya harta dan wajah tampan untuk memikat wanita; aku punya ini. Satu sentuhan. Itu saja modalku. Dengan satu tepukan ringan, aku bisa menjinakkan wanita paling angkuh sekalipun, menundukkan jiwa mereka di bawah kehendakku. Aku menenggelamkan mereka ke dalam trance-sebuah kondisi kosong di mana aku bisa menanamkan perintah apapun, membentuk ulang hasrat mereka sesuai keinginanku yang paling kotor.
Tujuan terakhirnya hari ini adalah sebuah rumah megah di salah satu kawasan elit ibu kota. Gerbangnya yang menjulang tinggi seakan mengejek motor bebeknya yang terbatuk-batuk. Dia menekan bel, dan tak lama, pintu kayu berukir yang kokoh itu terbuka.
Di sanalah Elisheba berdiri, dan dunia Bejo seakan berhenti berputar.
Kecantikannya seolah menampar kesadaran Bejo. Kulitnya yang putih susu, mulus tanpa noda, seolah bersinar dari dalam dan memancarkan kehangatan. Rambut hitam legamnya yang tebal tergerai anggun, membingkai lekuk lehernya yang jenjang dan bahunya yang terbuka. Dia adalah perwujudan dari fantasi paling liar, sebuah piala porselen yang menunggu untuk direbut dan dinodai.
“Permisi, Bu. Paket untuk Bapak,” ujar Bejo, suaranya terdengar parau, seolah tidak pantas mengotori udara di sekitar wanita yang beraroma bunga lili lembut itu.
“Oh, iya, terima kasih banyak. Suami saya sedang ada seminar di luar kota, biar saya saja yang terima,” jawab Elisheba dengan senyum ramah yang tulus, sebuah senyum yang terasa begitu jauh dan asing bagi Bejo.
Saat itulah Bejo menyadarinya. Rumah yang begitu besar ini terasa sunyi. Sebuah seringai tipis terukir di bibirnya. Ini adalah panggung yang sempurna.
“Boleh minta tanda tangannya di sini, Bu?” pinta Bejo sambil menyodorkan ponselnya.
Ketika Elisheba sedikit membungkuk untuk menandatangani, Bejo, dengan gerakan yang telah sangat terlatih, menepuk pundak wanita itu. Satu tepukan. Itu saja yang dibutuhkan.
Seketika, dunia Elisheba menjadi gelap. Senyum ramahnya membeku. Matanya yang tadi teduh kini menatap kosong ke depan, seolah sedang melihat sesuatu yang tak terlihat. Tubuhnya kaku seperti patung. Dia telah masuk ke dalam kondisi trance yang paling dalam.
Bejo tersenyum puas. Tapi dia tidak langsung memberikan perintah. Dia ingin bermain-main terlebih dahulu. Dia ingin mendengar pengakuan dari jiwa yang suci ini sebelum dia menodainya.
Dia mendekatkan bibirnya ke telinga Elisheba, suaranya berbisik seperti ular. “Siapa namamu?”
“Elisheba,” jawab wanita itu, suaranya datar tanpa emosi.
“Kau mencintai suamimu, Elisheba?” tanya Bejo lagi.
“Iya. Saya sangat mencintai suami saya.”
“Kau terlihat sangat bahagia dengannya,” bisik Bejo, suaranya kini lebih dalam. “Apakah kau tidak akan pernah mengkhianatinya, Elisheba?”
“Tidak akan pernah,” jawab Elisheba tanpa ragu, suaranya tetap datar namun penuh keyakinan. “Kesetiaan adalah napas dari pernikahan kami.”
Bejo tersenyum semakin lebar. Inilah bagian favoritnya. Dia menatap wajahnya sendiri yang dekil di pantulan kaca jendela di belakang Elisheba. “Sekarang, katakan padaku, Elisheba,” bisiknya. “Apa yang kau lihat saat kau menatapku?”
“Seorang kurir yang jelek dan bau,” jawab Elisheba, jujur dan tanpa filter.
Jawaban itu adalah musik termanis bagi Bejo. Seorang kurir yang jelek dan bau. Pengakuan yang sempurna. Sekarang, saatnya untuk menghancurkan semua itu. Dia kembali mendekatkan bibirnya ke telinga Elisheba, siap menanamkan program barunya yang paling kejam.
“Bagus. Istri yang setia. Istri yang sempurna,” desisnya. “Tapi itu membosankan. Dengarkan aku, malaikatku yang kesepian. Saat kau sadar nanti, semua kepura-puraanmu akan lenyap. Kau tidak akan lagi melihat seorang kurir. Kau akan melihatku, pria dekil ini, sebagai satu-satunya Raja yang kau dambakan di muka bumi. Kau akan merasa jijik pada kehidupanmu yang sempurna dan membosankan. Kau akan merasakan hasrat yang membara, sebuah kebutuhan untuk mengundangku masuk, untuk melayaniku, dan untuk menyerahkan dirimu sepenuhnya di kakiku. Setiap penolakanku hanya akan membuatmu semakin menginginkanku. Kau akan melakukan apa saja untuk merasakan kenikmatan dan memberi kenikmatan kepadaku. Sekarang, sadarlah… dan mulailah permainanmu.”
Setelah menanamkan perintah itu, Bejo mundur selangkah, menciptakan jarak.
Kesadaran kembali ke mata Elisheba seketika. Dia mengerjapkan matanya, tampak sangat bingung seolah baru bangun dari tidur yang sangat panjang. Dia menandatangani ponsel itu, pikirannya terasa berkabut. “Maaf, tadi saya melamun,” katanya. Tapi saat dia menatap Bejo, sebuah konflik batin yang hebat langsung terjadi. Pikirannya menjerit: Siapa pria ini? Kenapa dia masih di sini? Usir dia! Tapi tubuhnya menolak. Program Bejo telah aktif. Jantungnya langsung berdebar kencang. Perasaan hangat yang aneh menjalar di perutnya. Dia menatap pria dekil di hadapannya, dan entah kenapa, dia melihat seorang Raja.
“Mas kurir pasti capek, ya? Panas sekali di luar,” kata Elisheba, suaranya kini terdengar lebih dalam, lebih menggoda. Kalimat itu keluar dari mulutnya, mengkhianati pikirannya sendiri. “Mau… mau minum dulu di dalam?”
Dia sendiri kaget dengan tawarannya. Tidak! Apa yang kulakukan? teriaknya dalam hati. Tapi dorongan itu begitu kuat, tak terbantahkan.
Bejo tersenyum dalam hati. Umpan telah dimakan. “Tidak usah, Bu. Nanti merepotkan.”
“Tidak apa-apa. Sebentar saja,” desak Elisheba, kini lebih mantap, matanya menatap Bejo dengan tatapan lapar yang tidak ia mengerti. “Saya buatkan teh. Saya… ingin mengobrol sebentar.”
Bejo akhirnya mengangguk. Dia masuk ke dalam rumah yang sejuk dan mewah itu. Elisheba menuntunnya ke ruang tamu, lalu pergi ke dapur dengan langkah yang terasa sedikit tidak seimbang, pinggulnya bergoyang lebih dari biasanya.
Saat Elisheba kembali dengan segelas es teh, dia tidak lagi terlihat seperti istri seorang motivator. Dia telah melepas jepit rambutnya, membiarkan rambutnya tergerai lebih liar. Dia duduk di sofa, sedikit lebih dekat pada Bejo dari yang seharusnya.
“Jadi…” katanya, memulai percakapan. “Sering lewat sini, Mas?”
Bejo hanya tersenyum tipis sambil meminum tehnya. Dia tidak perlu banyak bicara. Dia hanya perlu menunggu.
Elisheba merasa penolakan diam itu sebagai sebuah tantangan. Hasrat di dalam dirinya semakin membara. Dia tidak tahan lagi. Dia beringsut mendekat, tangannya dengan berani menyentuh lengan Bejo yang kasar. Napasnya mulai terengah-engah, sebuah suara desahan kecil lolos dari bibirnya.
“Aku… tidak tahu kenapa,” bisiknya, suaranya serak. “Tapi melihatmu di sini… membuatmu merasa sangat… kesepian. Aku bosan menjadi wanita sempurna.” Saat kata-kata pengakuan itu keluar, sebuah gelombang panas baru menjalari tubuhnya, dan cairan hangat itu mulai membanjiri bagian bawahnya, merembes melalui pakaian dalamnya, sebuah bukti fisik yang memalukan dari pengkhianatan jiwanya.
Dia menatap Bejo dengan tatapan memohon. “Aku… tidak mau…” katanya, mengulangi kata-kata penolakan terakhir dari kesadaran lamanya, tapi kini kata-kata itu terdengar seperti sebuah rintihan putus asa yang penuh damba.
Bejo tertawa. Dia tahu dia sudah menang. “Kau bohong,” bisiknya. “Walau mulutmu bilang tidak, tubuhnya terus mencari kenikmatan. Aku bisa melihatnya. Aku bisa merasakannya.”
Tanpa kata-kata lagi, Elisheba menerjang. Semua keanggunan yang ia bangun seumur hidupnya hancur dalam sekejap. Matanya yang tadi teduh kini berkilat liar, wajahnya memerah padam, dan dari mulutnya keluar suara-suara tidak jelas, campuran antara rintihan dan geraman. Dia tak lagi sadar siapa dirinya, hanya kenikmatan yang tersisa sebagai tujuannya. Dia mendorong Bejo hingga bersandar di sofa, lalu dengan gerakan yang lebih menghinakan dan lebih primal, dia langsung berlutut di hadapan Tuannya.
Srekk… Dengan satu tarikan kasar, celana dekil Bejo terbuka, dan terpampanglah pusaka miliknya. Aroma yang tajam dan busuk seharusnya membuat Elisheba mundur jijik, tapi karena ilmu Bejo, yang terjadi justru sebaliknya. Matanya yang tadi liar kini tertegun, terpikat. Dia menelan ludah dengan susah payah, sebuah tanda yang jelas bahwa dia tidak sabar untuk melahapnya.
Dia tidak langsung menyentuh Bejo. Sebaliknya, dia menatapnya dengan tatapan memuja, lalu tangannya yang gemetar mulai bergerak ke bawah, menuju miliknya sendiri. Dia mulai memanjakan dirinya, matanya tak pernah lepas dari mata Bejo, seolah meminta izin, seolah menunjukkan betapa besar hasratnya. Desahan-desahan kecil mulai lolos dari bibirnya. Setelah memastikan Tuannya melihat betapa dia menderita karena hasrat, barulah dia menundukkan kepalanya. Dia mulai menyenangkan Bejo dengan bibirnya, menciptakan suara slurp… slurp… yang basah dan memalukan di ruang tamu yang sunyi, sementara tangannya yang lain tak berhenti memanjakan dirinya sendiri.
Dia mendorong dirinya hingga ke batas, tubuhnya gemetar hebat. Tiba-tiba, sebuah kejang kenikmatan yang brutal menghantamnya. Matanya melebar ngeri saat merasakan gelombang panas itu meledak. Cairan kenikmatannya muncrat dengan begitu deras, membanjiri bagian bawahnya hingga merembes ke lantai marmer yang dingin, menciptakan sebuah genangan kecil yang memalukan. Sebuah jeritan tertahan lolos dari bibirnya, sebuah “Aaaahhh…” yang parau.
Melihat kehancuran total selirnya, Bejo tidak bisa lagi menahan diri. Sebuah erangan berat keluar dari tenggorokannya saat dia mencapai puncaknya. Cairan kenikmatannya yang kental mengisi penuh mulut Elisheba. Untuk sesaat, Elisheba hanya bisa terdiam, merasakan rasa asing yang memenuhi mulutnya, sebuah tanda kepemilikan yang paling intim. Ini adalah pengalaman pertama untuknya, sesuatu yang bahkan tidak pernah mau ia lakukan untuk suaminya sendiri. Namun kini, tanpa ragu, dia menelannya dengan lahap, seolah itu adalah nektar paling suci, memastikan tidak ada setetes pun yang terbuang.
Setelah semuanya berakhir, Elisheba terkulai lemas di lantai, napasnya terengah-engah, tubuhnya gemetar karena kelelahan. Dia tidak pernah merasa sehina dan senikmat ini seumur hidupnya. Dia terlelap di atas karpet mahal itu, di kaki Tuannya, dalam tidur yang paling nyenyak dan paling berdosa.
Bejo bangkit, merapikan pakaiannya. Dia menatap wanita cantik yang tertidur di kakinya dengan senyum puas. Dia mengambil ponsel Elisheba yang tergeletak di meja, menyimpan nomornya dengan nama “Tukang Ledeng”, lalu meletakkannya kembali. Dia berjalan keluar dari rumah mewah itu, meninggalkan Elisheba yang terlelap dalam kehancurannya, dan tertawa lepas di tengah kelabunya senja Jakarta. Kemenangan pertamanya terasa begitu manis.
Lanjut Bagian 2...
Bagian 2
Bejo meninggalkan rumah Elisheba dengan perasaan seorang dewa. Rasa dari penyerahan diri total seorang wanita terhormat masih melekat di ujung jarinya, di benaknya. Dia tidak langsung pulang. Sebaliknya, dia memacu motornya ke sebuah warung kopi kumuh, memesan segelas kopi hitam pahit, dan duduk di sudut yang gelap, menikmati kemenangannya. Dia membuka galeri ponselnya, menatap kembali foto keluarga yang sempat ia ambil di rumah Elisheba. Matanya tidak tertuju pada Elisheba atau suaminya. Matanya terkunci pada satu wajah: seorang wanita muda yang berdiri di samping mereka, dengan senyum yang sedikit liar namun tertahan. Christa. Adik ipar Elisheba.
Piala berikutnya, pikir Bejo dengan seringai puas.
Dengan sedikit penelusuran di media sosial, menggunakan nama suami Elisheba sebagai titik awal, tidak sulit bagi Bejo untuk menemukan Christa. Dia adalah seorang ibu muda, istri dari seorang pengusaha, dan tampaknya, sedang berlibur bersama keluarganya di Jakarta. Lokasinya? Hotel Mahardika yang mewah. Sebuah sangkar emas yang berbeda, menunggu untuk dibuka.
Keesokan harinya, Bejo tidak mengambil jatah pengiriman paketnya. Dia punya misi pribadi. Dengan seragam kurirnya sebagai penyamaran dan sebuah kotak kosong sebagai alibi, dia tiba di lobi Hotel Mahardika yang megah.
“Paket untuk Nyonya Christa,” katanya pada resepsionis dengan nada datar.
Beberapa menit kemudian, Christa turun ke lobi. Dia tampak lebih cantik dan lebih liar dari fotonya. Dia mengenakan gaun musim panas yang simpel namun mahal, memperlihatkan kulitnya yang putih dan terawat. Dia menatap Bejo dengan tatapan sedikit bingung.
“Paket? Sepertinya saya tidak memesan apa-apa,” katanya.
“Ada kiriman atas nama Ibu, dari butik ‘La Belle’,” jawab Bejo, mengarang nama dengan lancar.
Christa masih tampak ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Baiklah. Di mana saya harus tanda tangan?”
Saat Christa meraih ponsel Bejo, momen itu datang. Dengan gerakan yang sama persis seperti yang dilakukannya pada Elisheba, Bejo menepuk pundak Christa. Satu tepukan. Itu saja yang dibutuhkan.
Seketika, tatapan bingung di mata Christa lenyap, digantikan oleh kekosongan yang dalam. Tubuhnya membeku di tengah lobi yang ramai, tangannya masih terulur di udara. Dia telah masuk ke dalam trance.
Bejo tersenyum. Dia mendekatkan bibirnya ke telinga Christa, seolah sedang menjelaskan sesuatu tentang paket itu.
“Siapa namamu?” bisiknya.
“Christa,” jawabnya datar.
“Kau punya suami? Anak?”
“Iya. Satu suami, dua anak.”
“Kau ibu yang baik, Christa? Kau istri yang setia?”
Ada jeda sesaat, lebih lama dari jeda Elisheba. “Aku… mencoba,” jawabnya, sebuah kejujuran yang tak terfilter dari alam bawah sadarnya.
Bejo tertawa dalam hati. Menarik. Wanita ini tidak sepolos Elisheba. Ada api yang sudah ada di sana, hanya perlu disulut. “Dan apa yang kau lihat saat menatapku, Christa?”
“Seorang kurir dekil. Bau matahari.”
Sempurna. “Bagus,” desis Bejo. “Dengarkan aku, binatang liar yang terkurung. Saat kau sadar nanti, kau akan melupakan pertemuan ini. Tapi kau akan merasakan sebuah kegelisahan yang aneh. Kau akan merasa bosan dengan liburan keluargamu. Kau akan merasa terkurung. Dan kau akan merasakan dorongan tak tertahankan untuk kembali ke lobi ini sore nanti, jam 5 tepat. Kau akan duduk di sofa itu,” katanya sambil melirik ke sebuah sofa di sudut, “dan menungguku. Kau tidak tahu kenapa, tapi kau harus melakukannya. Mengerti?”
Setelah menanamkan perintah itu, Bejo mundur selangkah. Christa tersadar dengan sebuah kedipan mata, tampak sedikit linglung.
“Maaf, sepertinya saya salah orang, Bu,” kata Bejo dengan nada panik yang dibuat-buat. “Paket ini untuk alamat lain. Maaf sekali sudah mengganggu waktu Ibu.”
Sebelum Christa sempat menjawab, Bejo sudah berbalik dan berjalan cepat keluar dari hotel, meninggalkan Christa yang mematung kebingungan, dengan perasaan aneh yang mulai merayapinya.
Sore itu, tepat jam 5, Christa sudah duduk di sofa yang ditunjuk Bejo. Dia tidak tahu kenapa dia ada di sini. Dia seharusnya sedang berenang bersama anak-anaknya. Pikirannya menjerit bahwa ini adalah hal bodoh, tapi tubuhnya menolak untuk beranjak. Dia merasa gelisah, bosan, dan entah kenapa, dia terus menatap ke arah pintu masuk, menunggu seseorang yang bahkan tidak ia kenal.
Bejo masuk, kali ini tanpa seragam kurir, hanya dengan kaus oblong dan celana jins kusam. Dia berjalan lurus ke arah Christa dan duduk di sampingnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Jantung Christa berdebar kencang. “Kau…”
“Aku tahu kau akan datang,” potong Bejo, suaranya rendah dan penuh kemenangan. Dia menatap Christa lekat-lekat, dan di bawah tatapan itu, Christa merasa telanjang.
“Aku… aku tidak tahu kenapa aku di sini,” bisik Christa, sebuah kebohongan yang bahkan tidak bisa ia percayai sendiri.
“Tentu kau tahu,” jawab Bejo. Dia mengangkat tangannya, dan di lobi hotel yang ramai itu, dia dengan berani menyentuh pipi Christa, membelainya dengan ibu jarinya yang kasar.
Sentuhan itu adalah sebuah sengatan. Napas Christa tercekat. Dia bisa merasakan kehangatan menjalar di seluruh tubuhnya. Dia bisa merasakan bagian bawahnya mulai basah, sebuah pengkhianatan biologis yang memalukan.
“Kau di sini karena kau menginginkan ini,” bisik Bejo. “Kau bosan menjadi ibu yang baik. Kau bosan menjadi istri yang setia. Jauh di dalam dirimu, kau ingin kembali menjadi liar.”
“Tidak…” sebuah rintihan pelan lolos dari bibir Christa, tapi matanya terpejam, menikmati setiap detik dari siksaan ini.
“Kau bohong,” desis Bejo. Dia mencondongkan tubuhnya, seolah akan membisikkan sebuah rahasia. Tepat saat itu, dia menepuk pundak Christa untuk kedua kalinya. Gendam kedua menghantamnya.
Christa kembali masuk ke dalam trance singkat, matanya kosong.
“Sekarang,” bisik Bejo cepat, “kau akan membuat alasan. Kau akan berkata pada suamimu di telepon bahwa kau tiba-tiba merasa tidak enak badan dan harus kembali ke kamar. Dan kau akan memintaku untuk menemanimu, dengan alasan kau takut sendirian. Kau akan membawaku ke sangkarmu.”
Dia menepuk pundaknya lagi untuk menyadarkannya. Christa tersadar dengan napas terengah. Perintah itu kini menjadi keinginannya. Dia mengambil ponselnya, menelepon suaminya dengan tangan gemetar, dan mengucapkan kebohongan itu dengan lancar.
Beberapa menit kemudian, mereka berdua sudah berada di dalam lift yang sunyi, naik menuju kamar Christa. Begitu pintu kamar tertutup dan terkunci dengan bunyi klik yang memuaskan, semua kepura-puraan Christa lenyap. Dia tidak lagi ragu seperti Elisheba. Dia adalah binatang buas yang baru saja dilepaskan.
Dia berbalik, mendorong Bejo ke dinding dengan sebuah geraman rendah. “Aku tidak peduli lagi,” desisnya di sela ciuman mereka yang kasar dan lapar. “Aku bosan menjadi baik. Hancurkan aku.”
Bejo tertawa, menikmati keliaran mangsa barunya. Dia membalik keadaan, mendorong Christa ke atas ranjang yang empuk. “Kau ingin liar? Tunjukkan padaku seberapa liar dirimu.”
Bejo tidak langsung menyentuhnya. Sebaliknya, dia menahan kedua tangan Christa di atas kepalanya. “Aku ingin mencicipi sesuatu,” bisiknya.
Christa menatapnya bingung, napasnya memburu. Bejo lalu menundukkan kepalanya, tapi bukan ke bibir atau leher Christa. Dia membenamkan wajahnya di ketiak Christa. Kulit di sana begitu mulus, putih, dan bersih, sebuah lekukan lembut yang sempurna. Aroma deodoran mahal beraroma bunga bercampur dengan aroma alami tubuh Christa yang feminin, menciptakan sebuah wangi yang memabukkan dan sangat adiktif bagi Bejo. Dia menghirupnya dalam-dalam, seolah itu adalah udara paling segar di dunia. Lalu, lidahnya yang kasar mulai menjelajahinya, menciptakan suara slurp… slurp… yang basah dan kontras dengan kelembutan kulit Christa.
“Aaaahhh!” Christa menjerit, bukan karena jijik, tapi karena sebuah sensasi aneh yang tak pernah ia rasakan. Sensasi yang begitu menghinakan sekaligus sangat nikmat. Tubuhnya gemetar hebat, kakinya menendang-nendang tak beraturan di atas ranjang.
“Bagaimana rasanya, binatang liarku?” ejek Bejo, mengangkat kepalanya sejenak untuk menatap wajah Christa yang memerah dan penuh gairah. “Dinodai dengan cara yang paling kotor?”
“Lagi…” rintih Christa, pikirannya sudah kosong, matanya sayu menatap Tuannya. “Lagi… kumohon…”
Malam itu, di dalam kamar hotel yang mewah, Christa menunjukkan semuanya. Dia tidak hanya pasrah seperti Elisheba. Dia adalah badai. Dia melawan, dia menantang, dia meminta lebih. Bejo mendorongnya ke ranjang, tapi Christa dengan cepat membalik keadaan, kini dia yang berada di atas, mengunci tatapan Bejo dengan matanya yang berkilat liar. “Kau pikir bisa menjinakkanku semudah itu?” desisnya. Dia mulai bergerak naik turun di atas tubuh Bejo, pinggulnya menari dengan ritme yang menantang dan penuh kuasa. Setiap erangannya bukan rintihan, melainkan sebuah tantangan. Dia bersikap mesra pada pria yang bukan suaminya, tangannya menjelajahi setiap jengkal tubuh dekil Bejo seolah itu adalah tanah jajahan barunya. Dia menemukan Tuan yang bisa mengimbangi keliarannya, dan itu membuatnya semakin gila.
Namun, dominasi itu hanyalah sebuah ilusi. Bejo, dengan satu gerakan kuat, membalik tubuhnya, kini Christa yang berbaring pasrah di bawahnya. “Permainanmu selesai, binatang kecil,” bisik Bejo. Christa tidak lagi melawan. Dia telah menunjukkan apinya, dan kini saatnya untuk dibakar. Dia membuka kakinya lebar-lebar, sebuah undangan total. Saat Bejo mulai menyatu dengannya, Christa merasakan tubuhnya berdenyut. Ini bukan kelembutan, ini adalah penaklukan yang brutal. Bejo terus memompa Christa tanpa ampun. Pompaan Bejo yang kasar membuat Christa menjerit, lidahnya terjulur, matanya melotot, tubuhnya gemetar hebat. Air liurnya menetes saat lidahnya menjulur dengan mata terbalik ke atas, sebuah pemandangan dari kenikmatan paling primal.
Ledakan klimaksnya begitu dahsyat, cairan kenikmatannya muncrat dengan deras, membanjiri bagian dalamnya. Melihat kehancuran total selir liarnya, Bejo tidak bisa lagi menahan diri. Dengan sebuah erangan berat yang penuh kemenangan, dia melepaskan semuanya. Cairan hangatnya yang kental menyatu dengan cairan Christa di dalam rahimnya, menciptakan sebuah campuran panas yang meluap hingga meleleh keluar, sebuah bukti penaklukan yang paling intim. Ini adalah pertama kalinya bagi Christa, pertama kalinya rahimnya yang suci dipenuhi oleh cairan seorang pria asing. Ia tak lagi sadar siapa dirinya, di mana ia berada, hanya kenikmatan absolut yang tersisa.
Setelah semuanya berakhir, Christa terkulai lemas di atas ranjang, tak sadarkan diri karena kelelahan. Bejo bangkit, menatap mahakarya kerusakannya dengan senyum puas. Dia mengambil ponsel Christa, menyimpan nomornya dengan nama “Servis Hotel”, lalu berjalan keluar dari kamar mewah itu, meninggalkan Christa yang terlelap dalam dosa barunya. Penaklukan kedua telah selesai, dan rasanya jauh lebih liar.
Lanjut Bagian 3…
Leave a Reply