Musuh Dalam Selimut​

Musuh Dalam Selimut​

Musuh Dalam Selimut​

MULA-MULA aku kost di kost laki-laki. Kemudian rekanku satu pabrik menawarkan aku kontrakan di dekat rumahnya.

Kalau aku ngontrak rumah, aku mendapat beberapa kemudahan dibandingkan dengan aku kost.

Kalau aku kost, apa-apa aku harus sendiri. Nyuci pakaian sendiri, makan di luar dan baju tidak ada yang setrika, kamar juga harus dibersihkan sendiri. Sedangkan kalau aku ngontrak, Mas Parman, rekanku satu pabrik itu menawarkan istrinya padaku.

00091-3390206301.jpg

Aku boleh mengembalikan uang semampuku dan seikhlasku padanya nanti pakaianku akan dicuci dan disetrika oleh istrinya, makan juga akan diurus oleh istrinya.

Aku kemudian menerima tawaran Mas Parman setelah aku melihat kontrakannya. Kontrakannya masih baru dan masih berbau cat.

Rupanya kontrakan itu milik budhe Mas Parman. Budhenya menyuruh Mas Parman mengurusi kontrakannya yang memiliki 5 pintu itu, masing-masing pintu memiliki ukuran ruangan 3 x 6 meter.

Mas Parman lebih tua dari aku 6 tahun. Aku berumur 24 tahun, sedangkan Mas Parman 30 tahun memiliki 1 orang anak berumur 2 tahun. Istrinya Mbak Yamti berumur 27 tahun.

Mas Parman bekerja di bagian produksi, sedangkan aku bekerja di bagian kantor. Aku sering main bola dengan Mas Parman.

Setelah kira-kira 2 bulan aku tinggal di kontrakan, pada suatu sore aku pulang kerja, Mbak Yamti sedang menyapu halaman rumahnya dengan sapu lidi pendek sambil membungkuk, waww… aku sampai terpelongo beberapa saat sewaktu melihat kedua payudara Mbak Yamti yang sedang bergoyang-goyang di dalan kaosnya….

Sewaktu Mbak Yamti membawakan aku makanan dan pakaian bersih yang sudah di setrikanya, aku berkata pada Mbak Yamti, “Mbak, aku ingin memperlihatkan beberapa foto pada Mbak, tapi Mbak jangan berkonotasi jorok ya, ini seni…” kataku.

Foto-foto itu aku download di hapeku dari sebuah medsos, lalu hapeku aku berikan pada Mbak Yamti.

 

 

“Bagaimana menurut Mbak?” tanyaku.

“He.. he..” Mbak Yamti tertawa.

“Mbak kalau aku foto seperti itu mau nggak? Nanti Mbak akan dapat duit lho…”

“Nggak, punya aku sudah jelek…”

“Siapa bilang?” jawabku. “Dari luar saja kelihatan begitu bagus, apalagi kalau dibuka… ayo, Mbak…”

“Nggak… nanti kalau ketahuan Mas Parman, aku bisa dicerai…”

“Begini aja deh Mbak… Mbak nggak aku foto, tapi Mbak kasih aku lihat boleh nggak…?”

“He.. he…”

“Ayo… rahasia terjamin Mbak, nggak akan keluar dari ruangan ini…” kataku.

Rasanya aku tidak sabar menunggu Mbak Yamti menaikkan kaosnya.

Aku memegang BH-nya setelah Mbak Yamti menaikkan kaosnya.

“Ada susunya…” katanya.

“Haa…?” jawabku terkejut.

“Kan Farid masih menetek…”

“Tapi… boleh aku keluarkan…?”

“Janji ya, jangan sampai Mas Parman tau…”

“Iya… kan sudah kujamin tadi…?” jawabku.

Mbak Yamti pun menaikkan BH-nya.

Wawww…

Penisku langsung mengeras seperti besi baja melihat payudara Mbak Yamti.

“Boleh aku hisap susunya nggak, Mbak?” tanyaku.

Mula-mula kutunduk mencium payudara Mbak Yamti yang bau susu tercium olehku bercampur bau minyak telon.

Setelah itu kukenyot puting payudara berwarna coklat tua sebesar ujung pensil itu. Benar-benar keluar ASI.

Aku sudah lupa rasanya ASI yang dulu sewaktu kecil aku hisap dari puting payudara ibuku, karena sudah 24 tahun berlalu, sekarang aku baru menghisap lagi susu Mbak Yamti yang rasanya mirip-mirip susu cair non fat.

Kuhisap sebentar saja. Nggak usah terburu-buru, besok masih ada waktu.

“Terima kasih ya, Mbak.” kataku membantu Mbak Yamti menurunkan BH-nya. Mbak Yamti lalu merapikan kaos yang dipakainya.

Mbak Yamti pulang, aku segera menutup pintu kontrakanku. Setelah itu aku melepaskan celana pendek dan kaosku. Aku berbaring di tempat tidur masturbasi.

Tak lama kemudian, air maniku terasa sudah mau keluar dari kontolku. Kupercepat kocokan tanganku pada batang kontolku yang sekeras kayu itu.

Sekonyong-konyong terdengar suara memanggilku. “Dek Dani… Dek… Dek Dani… sudah pulang kerja belum, ya…?” suara itu bergumam sendiri.

Tok… tok.. tok…

“Ya…” jawabku. “…tunggu sebentar…”

Setelah aku memakai celana pendek saja, aku membuka pintu kontrakanku. “E… Tante Eva, ada apa ya…?” tanyaku pada penghuni yang tinggal di sebelah kontrakanku itu.

Aku kenal Tante Eva hanya bertegur sapa saja kalau bertemu beliau. Tidak lebih dari itu.

Aku mendengar dari Mas Parman, suami Tante Eva itu adalah seorang pelaut yang bekerja di tongkang pengangkut BBM, jarang pulang ke rumah. Kalaupun pulang cuma 2 atau 3 hari, kecuali kalau kapalnya dok di pelabuhan baru lama di rumah.

“Dek Dani bisa bantu Tante pasang lampu?” tanya Bu Eva. “Lampu di kamar Tante mati.”

“O… bisa Tante…” jawabku cepat.

Tanpa menutup pintu kontrakanku, dengan bertelanjang kaki dan bertelanjang dada aku mengikuti Tante Eva pergi ke kontrakannya yang terletak di sebelah kontrakanku.

Kamarnya sedikit berantakan karena diisi dengan springbed yang besar. Barangnya juga banyak.

“Anaknya pergi ya, Tante?” tanyaku setelah mengganti lampu.

“Tante kan gak punya anak…”

“O… yang biasa datang itu…?”

“Itu ponakan Tante. Ia kuliah di Akademi Keperawatan. Mau kenalan, Dek Dani?” tanya Tante Eva.

“Apa keponakan Tante mau sama aku… sudah jelek tinggal di kontrakan begini pula…?”

“Ah… jangan berkata begitu, Dek Dani… hidup ini bukan kita yang ngatur… kalau Dek Dani belum ada pacar, nanti Tante kenalin…”

Aku tidak berani menjawab Tante Eva.

Pulang ke rumah, aku tidak melanjutkan masturbasiku. Aku makan.

Selesai makan aku pergi ngobrol ke rumah Mas Parman seperti tidak terjadi peristiwa apa-apa dengan Mbak Yamti tadi sore.

Mbak Yamti membuatkan kopi untuk aku dan Mas Parman. Setelah itu Mbak Yamti pergi dengan Farid.

Aku berbicara dengan Mas Parman tentang sepak bola dan kontestasi Indonesia di Piala Dunia 2016 nanti.

Kemudian Mbak Yamti pulang membawakan kami pisang goreng hangat. Mas Parman menawarkan aku makan pisang goreng, sedangkan Mbak Yamti masuk ke kamar dengan Farid.

Farid sudah tidur, Mbak Yamti bergabung dengan kami ngobrol bertiga.

Sudah hampir jam 9 malam, aku sudah ingin pamit dengan Mas Parman dan Mbak Yamti, tetapi tidak jadi, karena hape Mas Parman berbunyi.

Rupanya telepon dari pabrik. Listrik mati sebagian di pabrik, sehingga mesin tidak bisa full operasi. Mas Parman diminta ke pabrik karena masalah listrik adalah keahlian Mas Parman.

“Duduk dulu, jangan pulang…” kata Mas Parman padaku. “Itu pisang goreng juga masih banyak, makan cuma satu…” sambung Mbak Yamti menahanku supaya jangan pulang.

Mas Parman memakai jaket pergi dengan sepeda motor Yamaha XMAX-nya. “Makan tuh pisang gorengnya…” suruh Mbak Yamti.

“Aku ingin melanjutkan yang tadi sore…” kataku memegang tangan Mbak Yamti.

“Pintu terbuka Dan…” tegur Mbak Yamti.

“Kalau gitu aku pulang ya, Mbak…” kataku.

“Marah ya kamu…?”

“Kenapa harus marah…?”

“Kenapa kamu buru-buru pulang…?”

“Mau apa aku lama-lama di sini, ayo…”

“Aku takut, Dan…”

“Kenapa Mbak takut? Tadi aku ngobrol dengan Mas Parman biasa-biasa saja. Masa sih aku membocorkan rahasia kita, Mbak?” kataku.

Mbak Yamti lalu beranjak dari tempat duduknya keluar ke depan rumahnya, hanya sebentar, kemudian ia masuk sekalian ia menutup pintu rumah dan menguncinya dari dalam.

Jantungku berdebar-debar. Apa yang akan terjadi kemudian?

Sewaktu Mbak Yamti kembali duduk di tempatnya, aku mencoba meraih pinggangnya kemudian aku mencium lehernya. Mbak Yamti memelukku, sehingga dari mencium akupun melumat dan menjilat leher Mbak Yamti.

Bau tubuh Mbak Yamti membuat aku semakin terangsang. Bagian belakang telinganya kujilat. Tidak perlu lama, Mbak Yamti sudah seperti orang kesurupan. Wajahnya menengadah, matanya terpejam sedangkan mulutnya yang berbibir tipis itu ternganga.

Iapun tidak menolak sewaktu kubuka baju yang dipakainya. Tentu aku tidak berani membuka semuanya. Hanya kaos dan BH-nya.

Kemudian aku menghisap puting susu Mbak Yamti yang mengeluarkan ASI itu sambil aku berpikir rencana selanjutnya melihat Mbak Yamti dengan begitu pasrah memberikan susunya untuk kuhisap.

Tanganku mencoba memegang selangkangannya yang tertutup celana legging berwarna hitam. Ternyata Mbak Yamti memberikan aku memegang gundukan di selangkangannya yang hangat dan lembab itu.

“Boleh aku buka, Mbak…?” tanyaku.

Suara Mbak Yamti sudah tidak jelas menjawabku, sehingga aku segera melepaskan celana lengging bersama celana dalamnya.

Setelah itu, aku sudah tidak ingat lagi dengan Mas Parman. Aku menindih tubuh istrinya yang telanjang dengan mengarahkan kontolku yang tegang ke lubang memeknya.

Hasratku yang menggebu mendorong aku seperti memperkosa Mbak Yamti.

Kontolku sepenuhnya masuk ke lubang memek Mbak Yamti, aku baru sadar.

“Maaf ya, Mbak…? Sakit gak…?” tanyaku merasakan kontolku dijepit erat lubang memek Mbak Yamti.

Mbak Yamti tersenyum memandangku. Kukecup bibirnya. Mbak Yamti memelukku dengan erat membiarkan batang kontolku bertaut erat dengan lubang memeknya.

Sebentar kemudian aku mulai menarik dan mendorong batang kontolku maju-mundur di lubang memek Mbak Yamti.

Gerakan kontolku yang keluar-masuk di lubang sempit itu rasanya begitu nikmat sambil kucium dan kujilat leher Mbak Yamti.

Memang mula-mula sempit dan rasanya seret di batang penisku lubang memek Mbak Yamti, tapi lama kelamaan kontolku menyodok, lubang itu jadi terasa mulus, ringan dan basah, tetapi bagaimanapun rasanya tetap saja nikmat selama napsu masih berkumpul di kepala.

Sekitar 15 menit aku menyodok, kenikmatanku semakin meningkat. Entah kenapa aku tidak takut dengan Mas Parman pulang, demikian juga Mbak Yamti. Perselingkuhan memang sudah membutakan mata kami berdua.

Kupercepat sodokanku.

Akhirnya, “Ooouuughhhh….” mulutku mengulum mulut Mbak Yamti, selanjutnya air manikupun muncrat di dalam memek Mbak Yamti.

Crrooott… crroottt… crroottt…

Sampai tidak ada yang dikeluarkan baru kucabut kontolku.

“Aku pulang dulu ya, Mbak…” kataku.

“Iya…” jawab Mbak Yamti pelan.

Setelah peristiwa malam itu, aku sangka Mbak Yamti akan menghindariku.

Setiap sore ia masih membawakan aku makan dan menyusun rapi pakaianku yang sudah dicucinya di lemari.

Aku cuma tidak berani minta padanya, dan menghindari untuk memegang atau memeluknya.

Sore itu selesai Mbak Yamti menyusun pakaianku di lemari, ia berkata padaku, “Dan, aku sakit…”

“Sakit apa? Sakit hati, ya?”

“Ah… kamu… orang sakit beneran, kamu candain…”

Aku menarik Mbak Yamti duduk di tempat tidur dan dengan manjanya ia merebahkan kepalanya di bahuku. Satu tanganku terus merangkul bahunya dan satu tanganku lagi menggenggam tangannya yang hangat.

“Aku sakit perut sama mencret…”

“Sudah minum obat…?”

“Sudah sih, tapi masih mencret…”

“Lho kok masak…?”

“Kalau aku gak masak, kamu makan di warung…”

“Berarti Mbak lebih sayang sama aku daripada Mas Parman, ya…?”

“Nggak, ngapain sayang sama kamu…?”

“Ayo… lain di bibir, lain di hati… ya kan…? Buktinya…”

“Apa…?”

“Mbak mau dipeluk…”

Mbak Yamti mau mencubit pahaku, tetapi tangannya berhasil kudorong ke selangkanganku.

“Hi… hi… besar…” katanya melucu memegang kontolku dari luar celana pendekku.

“Kok baru tau besar? Yang masuk 2 malam lalu itu apa…?”

“Aku keluarin, ya…?”

“Nanti ia ngamuk. Sebaiknya aku ngantar Mbak ke dokter aja…”

“Nggak…”

“Mbak takut ketahuan Mas Parman…?”

“Sekarang nggak…!” jawabnya tegas. “Kalo ia mau talak aku, aku siap…”

“Lho… ada apa sih Mbak dengan Mas Parman…? Apa gara-gara aku…?”

“Tadi pagi aku lagi sakit perut buang-buang air, suruh ia jaga Farid sebentar ia gak mau, ia malah pergi… katanya sibuk…”

“Sudah… sabar, Mbak… sekarang kita pergi ke dokter… Farid di mana…?”

“Main di rumah sebelah…”

Aku berhasil mengajak Mbak Yamti ke dokter dengan mobil online, sedangkan Farid ditinggalkan pada tetangganya.

Pulang dari dokter sekitar jam 7 malam, Mas Parman belum pulang. Mungkin lembur, pikirku.

Setengah 12 Mbak Yamti menelepon aku. Katanya Mas Parman belum pulang. Aku mencoba menghubungi telepon Mas Parman, ternyata ‘calling’ beberapa kali.

Aku berharap Mas Parman telepon balik, aku tunggu sampai jam setengah 1, ternyata tidak.

Tengah malam aku pergi mengetok pintu Mbak Yamti. Aku tau Mbak Yanti tidur sendirian, karena Farid tidur di rumah tetangganya.

Mbak Yamti membuka pintu dengan rambut kusut, matanya sembab dan berbalut kain.

“Masih bisa tidur…?” tanyaku.

“Sebodoh…” jawabnya.

“Lha… kok…?”

“Kok apa? Ia tidur di rumah bini mudanya…”

Sampai jam 3 pagi, mataku masih jalang berbaring di samping Mbak Yamti memikirkan kata-kata Mbak Yamti tadi. Benarkah Mas Parman punya bini muda?

Setengah jam kemudian Mbak Yamti menggeliat memeluk aku. “Dan…” desahnya. “Kenapa kamu diam? Ayo… aku sudah bukan milik Mas Parman…”

Mbak Yamti melepaskan kain dari tubuhnya. Aku tidak berdaya untuk menolak sewaktu Mbak Yamti melepaskan kaos dan celana trainingku.

Seketika Mbak Yamti dan aku saling memagut dan memelintir lidah. Mbak Yamti menunjukkan sifat aslinya sebagai seorang wanita. Akupun tidak segan-segan lagi meremas teteknya dan memelintir putingnya sambil saling menyambung napas.

Dari tetek, tanganku beralih ke selangkangannya yang berbulu tipis kasar, jariku mencolok lubang memeknya yang basah membuat Mbak Yamti menggigir bibir bawahku dengan napas terengah-engah.

Sebelum Mbak Yamti mencapai orgasme, mulut dan lidahku bermain di selangkangannya yang berbau sesuatu. Lidahku menyapu naik-turun di belahan memek Mbak Yamti.

 

Kadang menyelusup masuk ke dalam lubang, berputar-putar sebentar di sana, kemudian keluar menjilati lagi, sehingga membuat Mbak Yamti menggelinjang kesedapan, “Ogggghh… ooggghhh… ooogghhhh…” dengusnya dengan suara yang tertahan di tenggorokannya, napasnya megap-megap, akhirnya ia menjerit, “Aaaaarrrrrrgghhhh….”

Itilnya tegang, belahan memeknya mekar dan lubang memeknya ternganga. Aku memeluknya dengan mesra. Tapi aku tau ia sangat puas sebelum aku menyetubuhinya, ia sudah orgasme duluan.

Batang kontolku yang tegang pun memasuki lubang memeknya. Tidak tergesa-gesa seperti pertama kali, sehingga aku sangat menikmati sewaktu batang kontolku menyelusup dan menelusuri lubang licin, mulus dan basah itu.

Aku mendiamkan sejenak sambil berciuman bibir dengan Mbak Yamti. Setelah 2 atau 3 menit aku baru mulai menggoyang kontolku keluar-masuk di lubang memek Mbak Yamti.

Mbak Yamti mengimbangi kocokan kontolku dengan memutar pantatnya. “Enak Dan… ooohhh… ayooo… teruusss…” desahnya.

Aku tancapkan kontolku dalam-dalam, sehingga sewaktu diputar oleh Mbak Yamti, kontolku seperti mengulek lubang memeknya…. nikmatnyaaaa… ahhh… untuk yang kedua kalinya, air maniku membanjiri lubang surga Mbak Yamti.

Jam setengah 5 aku minta izin pulang. Sebenarnya Mbak Yamti tidak rela.

Jam 5 lewat 10 menit aku melihat jam di hapeku sewaktu kudengar suara sepeda motor berhenti di depan rumah Mbak Yamti, aku keluar mengintip, ternyata memang benar Mas Parman pulang.

Siang aku bertemu dengan Mas Parman di pabrik aku pura-pura tidak tau ia pulang pagi.

Setelah peristiwa malam itu, aku sangka Mbak Yamti akan menghindariku.

Setiap sore ia masih membawakan aku makan dan menyusun rapi pakaianku yang sudah dicucinya di lemari.

Aku cuma tidak berani minta padanya, dan menghindari untuk memegang atau memeluknya.

Sore itu selesai Mbak Yamti menyusun pakaianku di lemari, ia berkata padaku, “Dan, aku sakit…”

“Sakit apa? Sakit hati, ya?”

“Ah… kamu… orang sakit beneran, kamu candain…”

Aku menarik Mbak Yamti duduk di tempat tidur dan dengan manjanya ia merebahkan kepalanya di bahuku. Satu tanganku terus merangkul bahunya dan satu tanganku lagi menggenggam tangannya yang hangat.

“Aku sakit perut sama mencret…”

“Sudah minum obat…?”

“Sudah sih, tapi masih mencret…”

“Lho kok masak…?”

“Kalau aku gak masak, kamu makan di warung…”

“Berarti Mbak lebih sayang sama aku daripada Mas Parman, ya…?”

“Nggak, ngapain sayang sama kamu…?”

“Ayo… lain di bibir, lain di hati… ya kan…? Buktinya…”

“Apa…?”

“Mbak mau dipeluk…”

Mbak Yamti mau mencubit pahaku, tetapi tangannya berhasil kudorong ke selangkanganku.

“Hi… hi… besar…” katanya melucu memegang kontolku dari luar celana pendekku.

“Kok baru tau besar? Yang masuk 2 malam lalu itu apa…?”

“Aku keluarin, ya…?”

“Nanti ia ngamuk. Sebaiknya aku ngantar Mbak ke dokter aja…”

“Nggak…”

“Mbak takut ketahuan Mas Parman…?”

“Sekarang nggak…!” jawabnya tegas. “Kalo ia mau talak aku, aku siap…”

“Lho… ada apa sih Mbak dengan Mas Parman…? Apa gara-gara aku…?”

“Tadi pagi aku lagi sakit perut buang-buang air, suruh ia jaga Farid sebentar ia gak mau, ia malah pergi… katanya sibuk…”

“Sudah… sabar, Mbak… sekarang kita pergi ke dokter… Farid di mana…?”

“Main di rumah sebelah…”

Aku berhasil mengajak Mbak Yamti ke dokter dengan mobil online, sedangkan Farid ditinggalkan pada tetangganya.

Pulang dari dokter sekitar jam 7 malam, Mas Parman belum pulang. Mungkin lembur, pikirku.

Setengah 12 Mbak Yamti menelepon aku. Katanya Mas Parman belum pulang. Aku mencoba menghubungi telepon Mas Parman, ternyata ‘calling’ beberapa kali.

Aku berharap Mas Parman telepon balik, aku tunggu sampai jam setengah 1, ternyata tidak.

Tengah malam aku pergi mengetok pintu Mbak Yamti. Aku tau Mbak Yanti tidur sendirian, karena Farid tidur di rumah tetangganya.

Mbak Yamti membuka pintu dengan rambut kusut, matanya sembab dan berbalut kain.

“Masih bisa tidur…?” tanyaku.

“Sebodoh…” jawabnya.

“Lha… kok…?”

“Kok apa? Ia tidur di rumah bini mudanya…”

Sampai jam 3 pagi, mataku masih jalang berbaring di samping Mbak Yamti memikirkan kata-kata Mbak Yamti tadi. Benarkah Mas Parman punya bini muda?

Setengah jam kemudian Mbak Yamti menggeliat memeluk aku. “Dan…” desahnya. “Kenapa kamu diam? Ayo… aku sudah bukan milik Mas Parman…”

Mbak Yamti melepaskan kain dari tubuhnya. Aku tidak berdaya untuk menolak sewaktu Mbak Yamti melepaskan kaos dan celana trainingku.

Seketika Mbak Yamti dan aku saling memagut dan memelintir lidah. Mbak Yamti menunjukkan sifat aslinya sebagai seorang wanita. Akupun tidak segan-segan lagi meremas teteknya dan memelintir putingnya sambil saling menyambung napas.

Dari tetek, tanganku beralih ke selangkangannya yang berbulu tipis kasar, jariku mencolok lubang memeknya yang basah membuat Mbak Yamti menggigir bibir bawahku dengan napas terengah-engah.

Sebelum Mbak Yamti mencapai orgasme, mulut dan lidahku bermain di selangkangannya yang berbau sesuatu. Lidahku menyapu naik-turun di belahan memek Mbak Yamti.

 

Kadang menyelusup masuk ke dalam lubang, berputar-putar sebentar di sana, kemudian keluar menjilati lagi, sehingga membuat Mbak Yamti menggelinjang kesedapan, “Ogggghh… ooggghhh… ooogghhhh…” dengusnya dengan suara yang tertahan di tenggorokannya, napasnya megap-megap, akhirnya ia menjerit, “Aaaaarrrrrrgghhhh….”

Itilnya tegang, belahan memeknya mekar dan lubang memeknya ternganga. Aku memeluknya dengan mesra. Tapi aku tau ia sangat puas sebelum aku menyetubuhinya, ia sudah orgasme duluan.

Batang kontolku yang tegang pun memasuki lubang memeknya. Tidak tergesa-gesa seperti pertama kali, sehingga aku sangat menikmati sewaktu batang kontolku menyelusup dan menelusuri lubang licin, mulus dan basah itu.

Aku mendiamkan sejenak sambil berciuman bibir dengan Mbak Yamti. Setelah 2 atau 3 menit aku baru mulai menggoyang kontolku keluar-masuk di lubang memek Mbak Yamti.

Mbak Yamti mengimbangi kocokan kontolku dengan memutar pantatnya. “Enak Dan… ooohhh… ayooo… teruusss…” desahnya.

Aku tancapkan kontolku dalam-dalam, sehingga sewaktu diputar oleh Mbak Yamti, kontolku seperti mengulek lubang memeknya…. nikmatnyaaaa… ahhh… untuk yang kedua kalinya, air maniku membanjiri lubang surga Mbak Yamti.

Jam setengah 5 aku minta izin pulang. Sebenarnya Mbak Yamti tidak rela.

Jam 5 lewat 10 menit aku melihat jam di hapeku sewaktu kudengar suara sepeda motor berhenti di depan rumah Mbak Yamti, aku keluar mengintip, ternyata memang benar Mas Parman pulang.

Siang aku bertemu dengan Mas Parman di pabrik aku pura-pura tidak tau ia pulang pagi.

Sudah sejauh ini aku menceritakan kisah perjalanan hidupku dengan Mbak Yamti, istri Mas Parman, tetapi aku belum pernah bercerita tentang tempat kerjaku.

Tempat kerjaku terdiri dari 2 bagian. Bagian depan adalah kantor. Bagian belakang terdiri dari pabrik dan gudang. Gudang dibagi lagi menjadi gudang bahan, gudang jadi, gudang setengah jadi dan gudang sparepart.

Di kantor terbagi beberapa ruangan. Ruangan direktur, ruangan administrasi, ruangan purchasing dan front office.

Aku berada di ruangan administrasi yang berisi 8 karyawan, 3 laki-laki dan 5 perempuan. Laki-laki satu sudah menikah. Perempuan 2 masih gadis, 1 ibu-ibu paruh baya, 2 wanita berumur 35 dan 40 tahun.

Kami di kantor diberikan 3 orang cleaning service, 2 orang anak muda, umurnya sepantaran aku dan seorang perempuan berumur sekitar 40-an.

Jika kami tidak keluar makan siang, kami suka nitip pada Bu Dining, cleaning service perempuan itu.

Kita kembali ke cerita semula setelah sekilas aku ceritakan lingkungan kerjaku.

Aku pulang kerja mau membuka pintu, Tante Eva keluar dari rumahnya. “Dan, sini…” bisiknya.

“Ada apa, Tante…?”

“Sini…”

Akupun menghampiri Tante Eva yang berdiri tidak jauh dari pintu rumahnya. “Tuh ada ponakan Tante di dalam…” kata Tante Eva.

“Nggak Tante, jangan…” tolakku.

“Nggak papa, sayang… yuk, Tante kenalin…” kata Tante Eva memegang pergelangan tanganku menyeret aku masuk ke rumahnya.

“O… ini namanya Dani…” kata cewek berkacamata minus setengah berbaring di kasur memegang hape itu.

Pahanya mulus bersih karena ia memakai celana boxer pendek dan payudaranya besar terlihat dari luar tanktop yang dipakainya.

“Iya…” jawabku malu-malu. “Aku pulang mandi dulu ya, nggak enak badan bau dekatin cewek cantik…”

Pulang ke rumah Mbak Yamti membawa makan untukku, lenyap sudah wajah cantik Sherly dari hadapanku diganti oleh tubuh Mbak Yamti yang telanjang.

Di tempat tidurku, aku ngentot Mbak Yamti sekitar setengah jam. Setelah itu aku mandi, Mbak Yamti pulang.

Selesai mandi aku baru saja mau makan, datang Tante Eva memanggilku. Jengkel juga aku, karena menyodorkan terus ponakannya padaku, tetapi aku membuka pintu juga untuknya dan di tangan Tante Eva, Tante Eva memegang sepiring nasi dan lauknya.

“Aduh Tante, aku sudah ada makanan.” kataku.

“Nggak papa, buat nanti malem.” katanya membawa makanan masuk ke kontrakanku.

Masa aku nolak?

Setelah Tante Eva menaruh makanan di meja, belum sempat aku bertanya Sherly padanya, ia melihat tempat tidurku, “Aduh, berantakan amat tempat tidurmu, Dan…”

Secepat kilat ia mengambil seprei tempat tidurku. “Nanti Tante ganti dengan yang baru. Ini Tante bawa pulang cuci, ya…” katanya.

Setelah Tante Eva pergi dari kontrakanku membawa seprei tempat tidurku, aku baru sadar di seprei itu menempel keringatku dan keringat Mbak Yamti, spermaku dan lendir memek Mbak Yamti yang belum kering karena belum satu jam aku dan Mbak Yamti selesai bersetubuh.

Jantungku berdebar-debar antara malu dan takut sewaktu Tante Eva kembali ke kontrakanku membawa seprei bersih. Sewaktu Tante Eva yang memasangkan seprei bersih itu ke tempat tidurku, aku berkata padanya, “Aku seperti punya istri aja deh Tante, diurusin…” kataku.

“Kalau gitu, Tante minta ya…?” balas Tante Eva duduk di tempat tidur.

“Minta apa, Tante…?”

“Kan tadi kamu bilang Tante istrimu…”

Wah, aku langsung bisa menebak ke arah mana Tante Eva berbicara.

“Aku belum pernah Tante, nanti Tante gak puas deh dengan orang yang belum pernah.” jawabku.

“Masuk dulu, nanti Tante ajarin, gampang kok…”

Setelah itu Tante Eva melepaskan dasternya dan….

Dua piring nasi di atas meja jadi saksi bisu ketika aku menggeluti tubuh telanjang Tante Eva di atas kasur yang belum satu jam aku pakai untuk menggeluti tubuh Mbak Yamti, apalagi Tante Eva lebih pintar bercinta daripada Mbak Yamti.

Tidak lama berciuman, Tante Eva beralih menjilat kontolku.

Mbak Yamti tidak pernah menjilat kontolku, tetapi Tante Eva memberikan warna baru, sensasi baru dan perhatian khusus pada batang kontolku.

Lidahnya menjilati kontolku seperti menjilati es krim corn. Matanya merem melek kayaknya kontolku sangat nikmat baginya, sementara aku hanya melihat memeknya tidak berani menyentuh, padahal memek Tante Eva terang benderang di depanku, karena memek Tante Eva polos tidak ada rambutnya.

Kemudian Tante Eva memasukkan kontolku ke dalam mulutku. Kontolku dikocoknya dengan mulut. Karena aku baru pertama kali sambil melihat bagaimana mulut Tante Eva mengocok kontolku plus sensasi-sensasi dan getaran-getaran nikmat yang kurasakan, serta membayangkan tadi kontolku berada di dalam memek Mbak Yamti sekarang di dalam mulut Tante Eva, akhirnya akupun mengejang dengan hebatnya di mulut Tante Eva.

Crrrooottt… craaaattt…. ccrrroootttt…. crrooottt… crraatttt…. crroootttt…..

Air maniku keluar sampai tetes penghabisan, kontolku sama sekali tidak dikeluarkan dari mulut oleh Tante Eva, bahkan air maniku ditelannya…

Bukankah diriku ini istimewa bagi Tante Eva?

“Enak nggak tadi diisep, Dan…?” tanya Tante Eva.

“Ya enak, Tante…” jawabku dengan napas masih tersengal.

“Mau lagi…?”

“He.. he…” aku tertawa malu.

Bisa diartikan aku mau lagi. Aku malam itu tidak makanpun aku rela sewaktu kontolku kembali dihisap Tante Eva. Sekarang malah ia naik ke tubuhku menghadapkan selangkangannya ke wajahku.

Memeknya sudah basah kulihat dan anusnya berkerut-kerut bentuknya berwarna coklat. Bibir memeknya juga berwarna coklat. Labia mayoranya menonjol keluar.

Akupun menciuminya. Baunya begitu menonjol dibandingkan dengan bau memek Mbak Yamti, tetapi tetap sama-sama bau, amis menuju ke sedikit bau terasi dan milik Tante Eva lebih tajam baunya, apalagi kemudian Tante Eva mendorong memeknya menempel ketat di mulutku.

Mulutkupun menghisap memek Tante Eva. Dari menghisap lidahku sekalian kumasukkan ke dalam lubang memeknya. Kudorong lidahku jauh ke ujung lubang, kemudian kugerakkan ujung lidahku menjilati rahimnya.

“Seessstth… ooohh… yeahh… sayang…” rintih Tante Eva. “Terus sayang… mainkan terus tempik Tante…. nikmat sekaliii… sudah lama Tante gak ngerasain…. oohhh… sayaa..aanggg…” racau Tante Eva.

Lidahku berada di lubang yang hangat dan berlendir itu hanya sebentar. Kemudian lidahku berpindah menjilat anusnya. Tidak kupikirkan lagi lubang itu bagaimana dipakai oleh Tante Eva sehari-hari.

Hentakan pantat Tante Eva semakin membuat aku lupa diri. Akupun membiarkan Tante Eva menaiki tubuhku. Kontolku dimasukkan ke lubang memeknya dari atas.

Setelah kontolku memenuhi lubang memeknya yang ketat, sambil duduk di pangkal pahaku, Tante Eva mengayunkan pantatnya maju-mundur sehingga kontolku terasa ditekuk-tekuk di kehangatan memeknya. Sesekali ia turun-naik, lalu mengayun lagi.

Menyaksikan tubuhnya yang putih mulus melakukan atraksi erotis di atas tubuhku belum lagi kedua tangannya meremas-remas kedua teteknya, sekuat-sekuatnya lelaki pasti tidak tahan, apalagi pengalamanku masih minim diperlakukan begitu oleh pemain yang sudah kawakan.

Akhirnya jebollah kontolku. Air maniku memancar ke atas seperti air mancur, crrooottt… crrooottt… crroootttt…. sementara Tante Eva menurunkan tubuhku berciuman dengan bibirku, selangkangannya ia tekan ke bawah dengan ketat.

Basah kuyup tubuh kami berdua setelah menyelesaikan ronde yang paling nikmat itu.

“Mudah-mudahan Tante bisa hamil… siapa tau Tante diberi anak darimu…” ujar Tante Eva memakai kembali dasternya setelah memeknya dibersihkannya dengan tissu.

Makanku malam itu sudah tidak terasa sedap lagi. Lebih dari itu aku berharap Mbak Yamti tidak mengetahui perselingkuhanku dengan Tante Eva.

Jam 5 bel pabrik berbunyi, teman-temanku satu ruangan satu-satu persatu meninggalkan tempat duduknya, aku masih duduk di depan komputer.

“Dan, kamu belum mau pulang…?” tanya Bu Linda padaku.

“Sebentar lagi, Bu…”

“Ibu pulang dulu, ya….”

“Ya Bu, sampai ketemu besok…” jawabku.

Setelah Bu Linda pergi sekitar 5 menitan, aku beranjak dari tempat dudukku pergi ke toilet.

Gang menuju toilet sangat sepi karena semua karyawan kantor sudah pulang, tetapi apa yang aku lihat di toilet wanita yang pintunya tidak tertutup rapat sungguh tidak kupercaya.

Bu Linda, karyawan senior di kantorku itu, sedang duduk di toilet. Celana panjangnya melorot sampai ke dengkul, sementara kancing baju atasannya terbuka.

Tangan kiri Bu Linda meremas teteknya yang masih tertampung di dalam BH, sedangkan tangan kanannya menguasai selangkangannya dengan mata terpejam-pejam.

Bu Linda yang berusia sekitar 50 tahun itu kaget, tapi percuma, karena aku sudah tau ia masturbasi.

“Maaf ya Dan…” kata Bu Linda lemas masih duduk di toilet dengan pakaian belum dirapikan. “Tolong jangan cerita ya…?”

“Ya Bu, nggak…”

“Habis bagaimana, suami sudah tidak mampu, suami stroke, di rumah ramai dengan anak dan cucu, terpaksa Ibu melakukannya di sini…”

“Ya sudah Bu… nanti ketahuan Satpam… aku ke toilet ya, Bu…”

Setelah kejadian sore itu, Bu Linda jadi lebih dekat denganku. Masuk ke kantor lebih pagi, pulang belakangan seolah-olah menungguku.

Aku pura-pura tidak tau karena aku tidak tega menyetubuhi wanita yang usianya lebih tua dariku sampai 27 tahun itu, lagi pula pasti memeknya sudah keriput. Memek Tante Eva yang lebih muda dari Bu Linda saja sudah keriput.

Hari-hariku kulalui bersama Tante Linda dan Mbak Yamti.

Sampai suatu siang pada jam istirahat di gudang tempat penyimpanan alat-alat cleaning service aku menemukan Bu Dining nunging di depan dinding sedang digoyang oleh Bandi dari belakang…

Aku tidak ingin mengganggu perselingkuhan mereka, tetapi sewaktu aku menitip membeli makan siang pada Bu Dining, pandanganku jadi berbeda terhadapnya.

Tinggi Bu Dining sekitar 160 sentimeter, teteknya besar menggantung, kadang-kadang tegak memandang ke depan kalau BH-nya ketat. Wajahnya mulus. Menurutku ia lebih cantik dari Mbak Yamti maupun Tante Eva.

Dua hari kemudian pada jam istirahat aku sengaja ke belakang mencari Bu Dining. Bu Dining sedang duduk makan nasi bungkus yang dibelinya, sedangkan Bandi dan Marten duduk merokok agak jauh dari kami.

“Mau beli makan ya, Mas Dani…?” tanya Bu Dining dengan mulut penuh. Bibirnya basah mengilat berminyak.

“Perutku sudah kenyang melihat apa yang Ibu lakukan di gudang dua hari yang lalu…”

“Melakukan apa sih…?”

“Ayo… ngaku nggak…? Kalau Ibu gak mau ngaku sudah berapa kali melakukannya dengan Bandi, aku lapor ke atasan Ibu…” ancamku.

Bu Dining mau memuntahkan nasi di dalam mulutnya. Wajahnya pucat seketika.

Aku meninggalkannya.

Pulang kerja ternyata Bu Dining menunggu aku di pos satpam. Aku pura-pura tidak tau. Anggaplah ia akan dijemput suaminya.

“Tunggu jemputan ya, Bu..?”

“Nggak…” jawabnya.

“Kalau gitu, ayo pulang…” ajakku.

Sambil berjalan pulang berdua, Bu Dining bertanya padaku, “Mas Bandi lapor…?”

“Nggak…” jawabku.

Bu Dining memandang aku polos seperti tidak percaya. “Terima kasih ya Mas Dani. Aku… aku… cuma sekali itu…”

“Keluar di dalam ya…?”

“Nggak, Mas Dani. Bandi pakai kondom…”

Lalu aku mengajak Bu Dining mampir ke warung mie ayam. Bu Dining tidak menolak ajakanku.

Warung mie yang kami masuki sepi, karena sudah mau magrib, karyawan yang pulang kerja pasti ingin buru-buru pulang.

“Suami… gak marah Ibu pulang telat?” tanyaku setelah duduk di bangku panjang dan aku sudah memesan 2 mangkok mie bakso, minumnya teh botol.

“Suami lagi pergi bikin sumur…”

“O… suami Ibu tukang bikin sumur, pastesan sumur Ibu di bor sama Bandi…”

“Sudah deh Mas Dani, jangan ngomong gitu lagi, aku nyesel…”

Tapi ia tidak nyesel sewaktu aku memeluknya dan mencium bibirnya. Di bawah meja, tangan Bu Dining meraba-raba tonjolan keras di celana panjangku.

Lidahnya masuk ke mulutku saat tanganku mencaplok teteknya dan meremas tetek yang terasa masih begitu kenyal.

Selesai makan aku membiarkannya menghilang di kegelapan malam.

Sampai di rumah, Mbak Yamti sudah menungguku di kamar dengan sepiring nasi dan lauknya.

Wajahnya sayu. Aku duduk di sampingnya. “Aku… mmm… hamil, Dan…” katanya dengan suara tergagap.

“Aku akan menikahi Mbak, kalo Mas Parman mengizinkan.”

“Nggak, Mas Parman nggak akan menceraikan aku…”

“Sungguh…?” tanyaku.

Kali ini aku menyetubuhi Mbak Yamti rasanya lebih nikmat….

e n d​